Teungku Syik Di Tunong, bisa tersenyum saat dieksekuisi hukuman tembak mati
oleh Belanda di Lhokseumawe. Panglima perang Aceh itu pergi dengan tenang
setelah Cut Mutia, istrinya, bersedia dan bersumpah akan melaksanakan dua pesan
terakhirnya, yakni menikah dengan Pang Nangroe, yang akan menggantikannya
sebagai panglima perang melawan Belanda, dan membesarkan anaknya, Teungku Raja
Sabi menjadi panglima perang yang tangguh.
Sumpah Cut Mutia itu pun dilaksanakan. Sebagai janda dari seorang panglima, ia
menolak menikah dengan beberapa Ulee Balang, pria terpandang di Keureutoe yang
hendak meminangnya. Sebaliknya, ia menikah dengan seorang pria biasa yang
ditunjuk oleh almarhum Teungku Syik Di Tunong, pria itu adalah Pang Nangroe,
lelaki dari kaum biasa yang sanggup meneruskan perang melawan Belanda.
Bersama Pang Nanggroe lah, Cut Mutia dan anaknya Teuku Raja Sabi melewati
hari-hari menegangkan dalam kancah perang melawan Belanda. Namun setelah
bertahun-tahun melakukan peperangan, Cut Mutia dan Pang Nangroe meninggal dalam
sebuah pertempuran. Tinggallah Teuku Raja Sabi yang masih kecil, sebagai
pewaris yang sah terhadap Ulee Balang Keuretoe.
Meninggalnya Pang Naggroe dan Cut Mutia tak menyurutkan semangat gerilyawan
Aceh untuk menentang Belanda. Sebaliknya spirit perjuangan terus berkobar,
karena Teuku Raja Sabi, generasi panglima perang Aceh masih hidup. Ia masih
kecil, usianya belum sampai 13 tahun, tapi setiap mendengar Teuku Raja Sabi
masih hidup, semangat perlawanan rakyat di pelosok-pelosok Aceh Utara terus
berkobar.
Menyadari hal tersebut, Belanda pun terus melakukan pemburuan terhadap
gerilyawan Aceh yang melindungi Teuku Raja Sabi. Bagi Belanda, Teuku Raja Sabi
merupakan tokoh kunci perlawanan rakyat di Keureutoe yang harus ditangkap hidup
atau mati.
Akibat pemburuan gencar yang dilakukan Belanda,
gerilayawan Teuku Raja Sabi pun terus terdesak. Akhirnya, taktik perang tipu
Aceh pun dilaksanakan oleh gerilayawan Aceh.
H C Zentgraaff dalam buku “Atjeh” menulis tentang tipuan mencengangkan
tersebut. Pada tanggal 6 Desember 1913, Letnan Schouten, penguasa pemerintah
sipil Belanda di Lhokseumawe, diberitahukan oleh jaksanya bahwa ia sanggup
menurunkan Teuku Raja Sabi. Hal itu tentunya setelah mendapatkan bisikan dari
pejuang Aceh. Tawaran jaksa itu diterima oleh Schouten. Dan inilah awal dari
babak tipu Aceh tadi.
Jam lima sore, setelah jaksa itu mengutarakan niatnya, terjadilah kesibukan di
Lhokseumawe. Ratusan massa mengikuti seorang bocah yang dibawa oleh serang
pejuang Aceh. “Raja Sabi, Raja Sabi, Raja sabi, inilah raja kami,” teriak massa
yang mengiringi bocah itu. “Benar kamu Raja Sabi?” tanya Letnan Shouten pada
bocah itu. “Benar, saya Raja Sabi, putra Teungku Syik Di Tunong,” jawabnya.
Gubernur Swart, penguasa Belanda di Kutaraja (Banda Aceh-red) tidak serta merta
percaya pada pengakuan bocah itu. Ia mengutus beberapa Ulee Balang ke
Lhokseumawe untuk memastikan berita tersebut. Mereka mengakui itu Raja Sabi, di
depan Belanda mereka menghormatinya, dengan mencium tangan bocah itu.
Belanda berharap dengan menyerahnya Teuku Raja Sabi, perlawanan rakyat Aceh di
Aceh Utara dan sekitarnya akan berakhir. Tapi malah sebaliknya, perang semakin
gencar dilakukan gerilyawan Aceh. Belanda pun semakin gencar berperang dan
disibukkan dengan perang-perang baru, karena kenyataannya, Teuku Raja Sabi asli
yang menjadi spirit perjuangan rakyat Aceh Utara kala itu, masih bersama gerilyawan
Aceh di belantara Gunung Seuleumek sampai tahun 1916.
Keberadaan Teuku Raja Sabi asli akhirnya tercium juga oleh Belanda. Letnan
Schouten mengumpulkan puluhan Ulee Balang menuju kawasan tersebut. Perhelatan
akbar dilakukan, Shouten mengharap Teuku Raja Sabi menyerah dan akan dipelihara
serta disekolahkan oleh Belanda. Tapi para Ulee Balang di Keuretoe waktu itu
meminta kepada Pemerintah Belanda untuk membuktikan bahwa Teuku Raja Sabi yang
ditangkap pada 1913 itu palsu, baru mereka mau menyerahkan yang asli.
Swart selaku Gubernur Militer Belanda di Kutaraja saat itu menolak permintaan
itu, demi menjaga gengsinya terhadap pemerintah Belanda di Denhag, maka usaha
letnan Schouten untuk menangkap Teuku Raja Sabi yang asli pun sia-sia. Dan
perang terus berkecamuk dengan spirit yang ditebarkan Teuku Raja Sabi yang oleh
Zentgraaff, mantan serdadu belanda yang beralih menjadi wartawan perang,
menggelarinya dengan sebutan Putra Rajawali.
Darah Teungku Syik Di Tunong dan Pengaruh Pang Nanggroe
Keberadaan Teungku Raja Sabi sebagai spirit bagi para pejuang Aceh di Keureutoe
tak lepas dari pengaruh almarhum ayahnya, Teungku Syik Di Tunong, Uleebalang
Keureutoe, yang menggelar puluhan kali serangan terhadap Belanda.
Suatu ketika ia ditangkap. Suami Cut Mutia akan dihukum dengan hukuman gantung.
Tapi Van Daalen, Gubernur Hindia Belanda di Aceh menghargainya sebagai seorang
penglima pejuang Aceh yang gagah berani. Ia merubah vonis menjadi hukuman
tembak; kematian yang terhormat terhadap seorang pejuang.
Tertangkapnya Teuku Syik Di Tunong setelah ia dan anak buahnya melakukan
penyerangan terhadap patroli Belanda di Desa Meurandeh Paya, Lhokseumawe, Aceh
Utara. Sekitar 16 anggota pasukan Belanda tewas dicincang dengan gaya how
bovenop, gaya tebasan pedang khas masyarakat Aceh. Sabetan pedang dengan
ketrampilan yang besar, sehingga senjata tajam tersebut membelah mulai dari
bahu kiri korban sampai dalam mencapai rongga dada, yang menyebabkan korban
langsung tewas.
Pada hari-hari sebelum menjalani hukuman matinya, Teungku Syik Di Tunong masih
diperkenankan menerima kunjungan istrinya. Ia meminta kepada Cut Mutia agar
mendidik anaknya menjadi seorang panglima perang yang akan meneruskan
perjuangannya. Pesan lainnya, agar Cut Mutia menikah dengan Pang Nanggroe
setelah ia meninggal. Cut Mutia pun bersumpah kepada suaminya itu, akan
melaksanakan dua amanah tersebut.
Berbekal sumpah Cut Mutia itu pula, Teungku Syik Ditunong dipagi-pagi buta
dengan tersenyum menuju pantai dekat Lhokseumawe. Sebuah regu militer
ditempatkan Belanda untuk mengeksekusinya. “Dia mati sebagai seorang jantan,”
tulis HC Zentgraaff.
Tinggallah Cut Mutia yang sedang hamil. Berdasarkan adat lembaga Aceh, anak
yang dikandung Cut Mutia lah yang berhak menduduki jabatan Uleebalang
Keureutoe, pengganti Teungku Chik Di Tunong, ayahnya. Tapi tak lama setelah
dilahirkan, anak itu meninggal dunia.
Setelah 44 hari kematian bayinya itu. Cut Mutia pun melaksanakan amanah kedua
dari almarhum suaminya. Ia memberitahukan kepada Pang Nanggroe, bahwa dirinya
sudah siap untuk diperistrikan. Pang Nanggroe bukanlah seorang pemuda
terkemuka. Ia hanyalah seorang tuha peut di kampung Matang Teungoh. Tapi
mengapa almarhum Teungku Syik Di Tunong meminta agar Cut Mutia menikah
dengannya.
Pertanyaan itu muncul dari setiap orang saat itu. Apalagi masih banyak kaum
Uleebalang yang berhasrat meminang Cut Mutia setelah kematian suaminya itu.
Tapi semua itu ditolak, karena dianggapnya sebagai pria yang lemah.
Beda dengan Pang Nanggroe, ia telah lama ikut dalam peperangan mendampingi
Teungku Syik Di Tunong dan Cut Mutia. Di mata Cut Mutia, ia mampu membuktikan
dirinya sebagai pejuang pemberani yang penuh semangat, yang mampu menggantikan
peran Teungku Syik Di Tunong, baik sebagai panglima perang, maupun sebagai
suami baginya.
Mendapat kabar dari Cut Mutia, Pang Nanggroe yang didampingi Pang Lateh bersama
pasukannya pun turun gunung untuk meminang Cut Mutia, yang sudah menunggu
bersama Teuku Raja Sabi (putra raja wali) anaknya. Cut Mutia didudukkan di
sebuah tandu, sementara anaknya, Teuku Raja Sabi dijaga oleh puluhan pasukan
Pang Nanggroe. “Mereka adalah para jantan yang tahan uji, yang bertugas
memberikan pengawalan terhadap sang anak dimana pun ia berada,” tulis
Zentgraaff.
Setelah pernikahan itu. Bulan madu bagi Cut Mutia adalah melakukan penyerangan
terhadap pasukan Belanda bersama suaminya itu. Perang itu pun terus berkobar
dengan semangat menjaga kekuasaan Keureutoe, karena Teuku Raja Sabi, anak Cut
Mutia adalah tokoh kunci yang mampu membuat semangat perang itu berkobar.
Meski masih kecil dan berada dalam hutan, setiap mendengar Teuku Raja Sabi
masih hidup, masyarakat Keureutoe pun semakin bersemangat memerangi Belanda.
Tahu soal itu Belanda pun mencoba mencari Teuku Raja Sabi, tapi tak pernah
ditemukan. Ia yang diawasi oleh ayah tirinya, Pang Nanggroe, bukanlah mudah
untuk ditemukan oleh Belanda.
Pada September 1905, Pang Nanggroe bersama gerombolan pimpinan Teuku Ben Pira,
saudara Cut Mutia, melakukan serangan bersama-sama terhadap Belanda. Kemenangan
demi kemenangan pun mereka capai. Belanda tambah kerepotan. Tapi dua tahun
kemudian, tepatnya 1907, Teuku Ben Pira meninggal, gugur dalam peperangan.
Sejak saat itulah pasukan Teuku Ben Pira sepenuhnya berada dibawah pimpinan
Pang Nanggroe.
Menurut Zentgraaff, Pang Nanggroe merupakan seorang panglima perang yang punya
mobilitas tinggi. Dia merupakan pejuang yang tak terduga, yang bisa melakukan
serangan dadakan kapan saja. Pada 6 Mei 1907, ia bersama 20 pasukannya,
menyerang sebuah bivak militer Belanda. Dua tentara Belanda tewas empat
luka-luka dalam serangan kilat itu. Ia juga berhasil merampas 10 pucuk senapan
beserta 750 butir peluru, serta sebuah senapang berburu dan sebuah karaben
winchester.
Sebulan kemudian, tepatnya 15 Juni 1907, Pang Nanggroe kembali menyerang bivak militer
Belanda di Keude Bawang, Idi, Aceh Timur. Merampas persenjataan militer
Belanda, dan meninggalkan pedang-pedang tua di sana. “Ini merupakan bukti,
betapa cepatnya Pang Nanggroe dan pasukannya bergerak. Ia merampas senapan dari
pihak kita, dan meninggalkan pedang-pedang tua, setumpuk besi tua yang bisa
kita dapatkan di setiap keude,” lanjut Zentgraaff.
Kemenangan demi kemanangan pun diraih Pang Nanggroe dan pasukannya. Nama Pang
Nanggroe kemudian dielu-elukan, tidak hanya di Keureutoe, tapi juga keluar
daerah tersebut. Setiap mendengar kabar keberhasilan Pang Nanggroe,
pemuda-pemuda desa meninggalkan kampungnya, sawah-sawah dibiarkan tak terurus.
Mereka memilih bergabung bersama Pang Nanggroe memperkuat barisan perjuangan di
Keureutoe, yang kemudian melakukan serangan-serangan berbahaya ke Lhoksukon,
Pase, dan daerah-daerah lain di luar Keureutoe.
Melihat kesuksesan itu, Cut Mutia pun bisa tersenyum dan terus mendampingi
suaminya. Dan satu hal yang tak pernah dilupakannya, pesan almarhum suaminya
Teungku Syik Di Tunong. Pilihan almarhun panglima perang itu ternyata tidak
salah. Nama Pang Nanggroe, seorang lelaki biasa itu pun kemudian semakin tenar
sebagai panglima perang. Namanya diletakkan setaraf dengan sederetan nama-nama
panglima perang Aceh lainnya, yang sebagian besar merupakan para ulama.
Terhadap kesuksesan Pang Nanggroe tersebut, Zentgraaff menulis. “Tampaknya
hasil jerih payah kita (Belanda-red) bertempur puluhan tahun, musnah
seluruhnya. Dan bagi Cut Mutia pastilah sesuatu yang sangat mengembira, melihat
seluruh rakyat Keureutoe bergolak,” tulis Zentgraaff.[Iskandar Norman]
Sumber: acehsky.blogspot.com