Selama
ini kita mengetahui asal mula daerah Pidie sekarang adalah Kerajaan Poli atau
Pedir, tapi ternyata jauh sebelumnya sudah ada Kerajaan Sama Indra sebagai
cikal bakalnya.
Sebuah
buku lama yang ditulis sejarawan M Junus Djamil yang disusun dengan ketikan
mesin tik, mengungkapkan hal itu. Buku dengan judul “Silsilah Tawarick
Radja-radja Kerajaan Aceh” Buku yang diterbitkan oleh Adjdam-I/Iskandar Muda
tidak lagi jelas tahun penerbitnya. Tapi pada kata pengantar yang ditulis
dengan ejaan lama oleh Perwira Adjudan Djendral Kodam-I/Iskandar Muda, T
Muhammad Ali, tertera 21 Agustus 1968.
Buku
setebal 57 halaman itu pada halaman 24 berisi tentang sejarah Negeri
Pidie/Sjahir Poli. Kerajaan ini digambarkan sebagai daerah dataran rendah yang
luas dengan tanah yang subur, sehingga kehidupan penduduknya makmur.
Batas-batas
kerajaan ini meliputi, sebelah timur dengan Kerajaan Samudra/Pasai, sebelah
barat dengan Kerajaan Aceh Darussalam, sebelah selatan dengan pegunungan, serta
dengan selat Malaka di sebelah utara.
Suku
yang mendiami kerajaan ini berasal dari Mon Khmer yang datang dari Asia
Tenggara yakni dari Negeri Campa. Suku Mon Khmer itu datang ke Poli beberapa
abad sebelum masehi. Rombongan ini dipimpin oleh Sjahir Pauling yang kemudian
dikenal sebagai Sjahir Poli. Mereka kemudian berbaur dengan masyarakat sekitar
yang telah lebih dahulu mendiami kawasan tersebut.
Setelah
berlabuh dan menetap di kawasan itu (Pidie-red), Sjahir Poli mendirikan sebuah
kerajaan yang dinamai Kerajaan Sama Indra. Waktu itu mereka masih menganut
agama Budha Mahayana atau Himayana. Oleh M Junus Djamil diyakini dari agama ini
kemudian masuk pengaruh Hindu.
Lama
kelamaan Kerajaan Sama Indra pecah mejadi beberapa kerajaan kecil. Seperti
pecahnya Kerajaan Indra Purwa (Lamuri) menjadi Kerajaan Indrapuri, Indrapatra,
Indrapurwa dan Indrajaya yang dikenal sebagai kerajaan Panton Rie atau Kantoli
di Lhokseudu.
Kala
itu Kerajaan Sama Indra menjadi saingan Kerajaan Indrapurba (Lamuri) di sebelah
barat dan kerajaan Plak Plieng (Kerajaan Panca Warna) di sebelah timur.
Kerajaan Sama Indra mengalami goncangan dan perubahan yang berat kala itu,.
Menurut
M Junus Djamil, pada pertengahan abad ke-14 masehi penduduk di Kerajaan Sama
Indra beralih dari agama lama menjadi pemeluk agama Islam, setelah kerajaan itu
diserang oleh Kerajaan Aceh Darussalam yang dipimpin Sultan Mansyur Syah (1354
– 1408 M). Selanjutnya, pengaruh Islam yang dibawa oleh orang-orang dari
Kerajaan Aceh Darussalam terus mengikis ajaran hindu dan budha di daerah
tersebut.
Setelah
kerajaan Sama Indra takluk pada Kerajaan Aceh Darussalam, makan sultan Aceh
selanjutnya, Sultan Mahmud II Alaiddin Johan Sjah mengangkat Raja Husein Sjah
menjadi sultan muda di negeri Sama Indra yang otonom di bawah Kerajaan Aceh
Darussalam. Kerajaan Sama Indra kemudian berganti nama menjadi Kerajaan Pedir,
yang lama kelamaan berubah menjadi Pidie seperti yang dikenal sekarang.
Meski
sebagai kerajaan otonom di bawah Kerajaan Aceh Darussalam, peranan raja negeri
Pidie tetap dipererhitungkan. Malah, setiap keputusan Majelis Mahkamah Rakyat
Kerajaan Aceh Darussalam, sultan tidak memberi cap geulanteu (stempel
halilintar) sebelum mendapat persetujuan dari Laksamana Raja Maharaja Pidie.
Maha Raja Pidie beserta uleebalang syik dalam Kerajaan Aceh Darussalam berhak
mengatur daerah kekuasaannya menurut putusan balai rakyat negeri masing-masing.
Masih
menurut M Junus Djamil, setelah Sultan Mahmud II Alaiddin Jauhan Syah raja
Kerajaan Aceh Darussalam Mangkat, maka Sultan Husain Syah selaku Maharaja Pidie
diangkat sebagai penggantinya. Ia memerintah Kerajaan Aceh dari tahun 1465
sampai 1480 Masehi. Kemudian untuk Maharaja Pidie yang baru diangkat anaknya
yang bernama Malik Sulaiman Noer. Sementara putranya yang satu lagi, Malik
Munawar Syah diangkat menjadi raja muda dan laksamana di daerah timur, yang
mencakup wilayah Samudra/Pase, Peureulak, Teuminga dan Aru dengan pusat
pemerintahan di Pangkalan Nala (Pulau Kampey).
[Iskandar
Norman/PM]
Sumber: acehsky.blogspot.com