Teuku Nyak Arif dikenal sebagai nasionalis tulen. Dalam pidatonya pada Maret
1945, sebagaiWakil Ketua DPR seluruh Sumatera ia berujar. “Indonesia merdeka
harus jadi tujuan hidup bersama.”
Menelisik lebih jauh ke belakang. Ia juga turut mendirikan “Taman Siswa” dan
“Muhammadiyah”. Ia dikenal sebagai tokoh yang peduli pada pendidikan. Ia pun
kemudian digelar sebagai Bapak Pendidikan Aceh.
Untuk membiayai pendidikan putra-putri Aceh, Teuku Nyak Arif terlibat dalam
Atjeh Studiefond, bahkan menjabat sebagai ketua lembaga yang mengirim pemuda
Aceh ke berbagai perguruan tinggi itu.
Pria kelahiran Ulee Lhuen tahun 17 Juli 1899 ini juga aktif dalam bidang olah
raga. Ia mendirikan dan pernah menjabat sebagai Ketua Atjeh Voetbal Bond.
Perserikatan sepak bola Aceh yang kemudian menjadi Persatuan Sepakbola Kutaraja
(Persiraja).
Mantan Panglima Kodam Iskandar Muda, Syamaun Gaharu dalam buku “Mengenang Teuku
Nyak Arif” menyebutkan Teuku Nyak Arif sebagai pemimpin rakyat. Teuku Nyak
Banda, ayah Teuku Nyak Arif merupakan Panglima Sagoe XXVI Mukim di Aceh Besar.
Pada zaman perjuangan, Teuku Nyak Arif bersama Teuku Muhammad Ali Panglima
Polem aktif dalam perang melawan Belanda. “Sejak muda, Teuku Nyak Arif terkenal
sebagai nasionalis sejati, pembela rakyat di Aceh,” tulis Syamaun Gaharu.
Teuku Nyak Arif memulai pendidikannya pada Gouvernement Inlandsche School di
Kutaraja dan setelah itu ke Kweek School (Sekolah Raja) di Bukit Tinggi. Tahun
1912 melanjutkan ke Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di
Serang, Jawa Barat.
Setelah menyelesaikan pendidikan di OSVIA, ia kembali ke Aceh dan mulai bekerja
sebagai Ambtenar Voedsel Voorziening (semacam BULOG sekarang). Dalam kongres
“Sjarekat Atjeh”, organisasi yang bergerak di bidang sosial, Teuku Nyak Arif
terpilih menjadi Ketua Pengurus Besar pada tahun 1919 menggantikan Teuku Chik
Muhammad Thayeb Peurelak (ayah Dr Syarif Thayeb) mantan Mendikbud RI.
Dalam bidang politik, Teuku Nyak Arif menjadi anggota National Indische Partij
(NIP) yang semula bernama Insulinde, dan ia pernah menjadi Ketua NIP Cabang
Kutaraja. Pada tahun 1920 Teuku Nyak Arif diangkat menjadi Panglima Sagi XXVI
Mukim menggantikan ayahnya yang sudah uzur.
Dari tahun 1927 sampai 1931, T Nyak Arif ditetapkan sebagai anggota Volksraad
(Dewan Rakyat) di Jakarta. Disana ia bersama M Husni Thamrin, RP Suroso, M
Suangkupon, mendirikan “Fraksi Nasional”. Karena kevokalannya mengkritik
pemerintah kolonial Belanda, pada tahun 1931 kedudukan Teuku Nyak Arif sebagai
anggota Volksraad tidak diperpanjang. Ia digantikan oleh Tuanku Mahmud.
Dicurigai Mata-mata Sekutu
Kedekatan Teuku Nyak Arif dengan Maarten Knottenbelt, membuat Residen Aceh yang
pertama itu dicurigai sebagai mata-mata sekutu setelah Jepang menyerah. Dalam
buku Mata Rantai yang Hilang (1996) M Nur El Ibrahimi menjelaskan Knottenbelt
merupakan perwira Belanda pertama yang diterjunkan ke Sumatera setelah Jepang
menyerah pada Agustus 1945.
Kedekatan Teuku Nyak Arif dengan Knottenbelt terungkap dalam tulisannya di
majalah Vrij Nederland, edisi 26 tahun VI, terbitan London 19 Januari 1946,
dengan judul “Contact met Atjeh” Knottenbelt menyebutkan Residen Aceh, Teuku
Nyak Arif sebagai salah seorang yang dihubunginya di Aceh.
Pertemuan Teuku Nyak Arif dengan Knottenbell, juga disingung Dr Anthony Reids
dalam buku The Blood of the People, serta Dr A J Piekar dalam buku Atjeh en de
oorlog met Japan. Knottenbell terpaksa harus kembali ke Medan pada 10 November
1945, setelah rakyat Aceh mengetahu identitasnya sebagai perwira Belanda yang
memboncengi sekutu.
Namun, isu bahwa Teuku Nyak Arief punya hubungan dengan Knottenbelt terus
bergulir. Kecurigaan terhadap Teuku Nyak Arief waktu itu sangat besar. Apalagi
Teuku Nyak Arief pernah menjadi anggota Volksraad, dewan rakyat buatan Belanda.
Sentimen anti feodal pun memuncak. Kaum Uleebalang dianggap sebagai jaroe uneuen
(tangan kanan) Belanda. Hal yang kemudian membuat Teuku Nyak Arif diturunkan
dari jabatannya sebagai residen Aceh. Ia diasingkan ke Takengon, Aceh Tengah
oleh Tentara Keamanan Rakyat (TKR) bentukan Husein Al Mujahid.
Syamaun Gaharu yang kemudian menjadi Panglima Kodam Iskandar Muda, dalam
seminar di Medan, 22-25 Maret 1976 mengatakan hubungan Teuku Nyak Arif dengan
Knottrnbelt itu ada. Namun sembilan tahun kemudian, Januari 1985, Syamaun
Gaharu mencabut pernyataannya itu melalui surat kabar Waspada, setelah muncul
beragam reaksi.
Untuk memastikan hal itu, M Nur El Ibrahimi menghubungi kawannya di Belanda. Ia
kemudian mendapat balasan sepucuk surat tiga halaman kuarto yang diketik rapi
satu spasi. Surat itu merupakan laporan yang dikirim Mayor Knottenbell dari
Kutaraja pada 4 November 1946 ke majalah Vrij Nederland di London, yang dimuat
pada edisi 26 tahun VI, 19 Januari 1946 dengan judul “Contact met Atjeh”
Dalam surat itu, terungkap bahwa pertemuan Knottenbelt dengan Teuku Nyak Arif
tidak hanya terjadi sekali. Setelah pertemuan mereka pada15 Oktober 1945,
Knottenbelt megutus Goh Moh Wan, warga keturuna Tionghoa yang mahir berbahasa
Inggris, sebagai peghubungnya dengan Teuku Nyak Arief. “…Berhubungan dengan ini
saya beberapa kali mendapat kunjungan dari seorang pemimpin pribumi, bernama
Nyak Arief, yang oleh Soekarno diangkat menjadi Residen Aceh,” tulis
Knottenbelt.
Dalam versi aslinya berbahasa Belanda Knottenbelt menulis. “…In verband
hiermede werd ik enkele maal bezocht door een inlandse hoogwaardigheiddsbekleeder,
genaamd Nyak Arif, die door Soekarno als ‘residen’ van Atjeh benoemd…”
Anthony Reid dalam buku The Blood of The People kemudian memperjelas hal itu.
Menurutnya, angkatan laut Inggris menduduki Sabang tanpa perlawanan pada 7
September 1945. Satu pasukan kecil sekutu (force 136) dikirim dari Medan ke
Kutaraja dibawah pimpinan Mayor M J Knottenbelt dan oleh tentara Jepang
ditempatkan di sebuah vila berbendera Inggris.
Tugasnya, mengobservasi dan memberi laporan serta berusaha agar senjata yang
berada di tangan Jepang tetap terkendali, tidak boleh diserahkan ke pihak lain.
Dalam hal ini Knottenbelt bekerja sama dengan Teuku Nyak Arief.
Reid menulis. “…and even signed apetition to the Britis Commandand that the
Dutchman’s presence was ‘at this moment…indispensable to the maintenance of law
and order.” Terjemahannya, dan kemudian beliau (Teuku Nyak Arief-red) megirim
sebuah petisi kepada komando Inggris, menyatakan bahwa kehadiran Knottenbelt
pada saat-saat yang penting ini sangat dibutuhkan untuk tegaknya hukum dan
terpeliharanya ketertiban serta keamanan.
Meski demikian, M Nur El Ibrahimi menilai hubungan Teuku Nyak Arief dengan
Knottenbelt itu bermanfaat. Setidaknya untuk mengusahakan agar sebagian senjata
milik Jepang bisa diperoleh oleh Pemerintah Aceh untuk mempersenjatai Angkatan
Pemuda Indonesia (API) sebagai cikal bakal Tentara Kemanan Rakyat (TKR)
Republik Indonesia di Aceh.
Korban Revolusi Desember
Kecurigaan terhadap hubungan Teuku Nyak Arif dengan Maarten Knottenbelt
berlanjut pada ketidakpercayaan terhadap kaum uleebalang (feodal). Mereka
dianggap sebagai tangan kanan Belanda. Perang Cumbok yang dikenal sebagai
revolusi Desember pun pecah.
Sejarawan Aceh, Muhammad Gade Ismail (alm) dalam buku Kasus Darul Islam Aceh
(1994) mengatakan, pada masa pemerintahan kolonial berkuasa di nusantara,
Belanda merangkul uleebalang untuk mencegah ulama terjun dalam pemerintahan.
Ulama hanya dapat memimpin rakyat dalam bidang agama dan sosial.
Hal inilah yang dijelaskan Muhammad Gade Ismail sebagai awal pergesekan antara
kaum uleebalang dengan ulama yang setelah Belanda angkat kaki dari Aceh berubah
menjadi perang cumbok. Sebuah revolusi berdarah di Aceh.
Menurut Ali Basyah Talsya, pergesekan itu bertambah ketika muncul desas-desus
bahwa kelompok uleebalang mempersiapkan kedatangan pasukan sekutu pada agresi
Belanda ke dua.
Uleebalang ingin memperoleh kembali kekuasaan yang didominasi ulama. Sementara
ulama dan rakyat saat itu sangat anti terhadap Belanda. Pada agresinya yang
kedua Belanda gagal masuk Aceh.
Hal inilah yang kemudian membuat Husein Al Mujahid membentuk Tentara Kemanan
Rakyat (TKR) di Idi, Aceh Timur. Dari sanalah kemudian operasi pembersihan kaum
feodal dilakukan.
Di setiap daerah uleebalang ditangkap, mereka ditahan dan diasingkan. Baru
dibebaskan setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Republik
Indonesia. Namun tak sedikit pula kaum uleebalang yang dibunuh dengan apa yang
disebut sebagai “pengadilan revolusi”.
Teuku Nyak Arif yang menjabat sebagai Residen Aceh pun digulingkan dari
jabatannya. Ia ditangkap oleh kelompok Husein Al Mujahid dan diasingkan ke
Takengon Aceh Tengah bersama adiknya, Teuku Abdul Hamid.
Dalam pertemuan dengan Teungku Muhammad Daud Beureueh yang sempat menjenguknya
di Takengon, Teuku Nyak Arif berpesan agar berhati-hati terhadap kaum komunis.
Setelah beberapa lama di pengasingannya, pada 4 Mei Teuku Nyak Arif meninggal
dunia disaksikan isterinya, Hj Jauhari dan tiga anaknya, Ir Teuku Ubit Azhari,
Prof H Teuku Syamsul Bahri SH (mantan Pembantu Rektor II Universitas Sumatera
Utara periode 1986-1995), dan puteri bungsu Cut Arifah Nasri (isteri almarhum
Teuku Umar Ali, mantan Sekjen Depdiknas dan Duta Besar RI di Brazil).[Iskandar
Norman]
Sumber: acehsky.blogspot.com