Pada masa Kerajaan Aceh di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda, daerah Gayo
dan Alas secara resmi dimasukkan dalam bagian Kerajaan Aceh. Gayo dan Alas
waktu itu dibagi dalam beberapa daerah yang disebut Kejuruan. Kepada
masing-masing kejuruan diberikan sebuah bawar, yakni pedang sejenis tongkat
komando sebagai pengganti surat keputusan.
Daerah Gayo dan Alas dibagi menjadi delapan kejuruan, enam di Gayo, yaitu
Kejuruan Bukit, Lingge, Syiah Utama, Patiambang, Bebesan, dan Kejuruan Ambuk.
Dua lagi di Tanah Alas yaitu Kejuruan Batu Mbulan dan Kejuruan Bambel.
Kejuruan Patiambang berkedudukan di Penampahan dengan luas daerah seluruh Gayo
Lues yang terdiri dari 55 kampung. Kepala pemerintahan dipegang Kejruen dengan
dibantu empat orang Reje, yaitu Reje Gele, Bukit, Rema dan Kemala, dan delapan
Reje Cik yaitu: Porang, Kute lintang, Tampeng, Kemala Derna, Peparik, Penosan,
Gegarang dan Padang.
Tugas utama Reje dan Reje Cik adalah membangun daerahnya masing-masing dan
memungut pajak dari rakyat serta memilih kejuruan. Kejuruan setiap tahun
menyetor upeti kepada Sultan Aceh.
Pada masa penaklukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda ke nusantara, termasuk Aceh,
Belanda kemudian melakukan ekspansi sampai ke Gayo Lues. Setelah Sultan
Muhammad Daudsyah menyerah pada Belanda pada tahun 1903, maka Gubernur Militer
Aceh Van Heutsz memutuskan untuk menaklukkan seluruh Aceh. Daerah yang belum
takluk waktu itu adalah Gayo Lues dan Alas.
Van Heutsz memerintahkan Van Daalen untuk menaklukkan daerah tersebut. Setelah
segala sesuatunya dianggap rampung maka Van Daalen mulai menyerang daerah Gayo
Lues pada tahu 1904.
Setelah mengalahkan Gayo Laut, Gayo Deret, akhirnya Van Daalen memasuki daerah
Gayo Lues disebuah kampung terpencil yaitu kampung Kela (9 Maret 1904). Dari
sinilah daerah Gayo lues ditaklukkan benteng demi benteng. Dimulai dengan
menaklukkan benteng pasir (16 Maret 1904), Gemuyung (18,19,20 Maret 1904), Durin
(22 Maret 1904), Badak (4 April 1904), Rikit Gaib (21 April 1904), Penosan (11
Mei 1904), Tampeng (18 Mei 1904).
Hampir seluruh isi benteng dimusnahkan dan yang luka-luka tertawan akhirnya
dibunuh. Menurut catatan Keempes dan Zentegraaf (pengarang Belanda) hampir 4000
rakyat Gayo dan Alas gugur, termasuk pejuang Gayo seperti Aman Linting, Aman
Jata, H Sulaiman, Lebe Jogam, Srikandi Inen Manyak Tri, Dimus dan lain-lain.
Setelah menaklukkan Gayo Lues pasukan Belanda kemudian menuju Tanah Alas.
Mereka baru kembali lagi ke Gayo Lues pada tahun 1905 untuk menyusun
pemerintahan. Belanda kemudian membentuk Pemerintahan Sipil yang disebut Onder
Afdeling (Kabupaten).
Onder Afdeling Gayo lues membawahi tiga daerah yang disebut Landchap
(Kecamatan), yaitu: Landchaap Gayo Lues di Blang Kejeren dikepalai oleh Aman
Safii. Landchap Batu Mbulan dikepalai oleh Berakan. Landchap Bambel dikepalai
oleh Syahidin.
Sejak 1905 – 1942 Tanah Alas tunduk ke Gayo Lues. Tahun 1926 terjadi
pemberontakan rakyat terhadap Belanda di Blang Kejeren yang dipimpin oleh
Muhammad Din, pemberontakan gagal. Muhammad Din ditangkap dan dibuang ke Boven
Digul (Irian Jaya) sedangkan kawan-kawannya dibuang ke Cilacap, Sukamiskin dan
Madura.
Setelah Belanda kalah dalam perang dunia II, Jepang masuk ke Indonesia. Pada
tahun 1942 – 1945 Gayo Lues dijadikan Jepang sebagai salah satu daerah
pertahanan dan pemusatan militer di Aceh. Pemuda-pemuda Gayo Lues dilatih
kemiliteran dalam jumlah yang banyak diharapkan pemuda-pemuda ini kelak sebagai
pendukung militer Jepang.
Pemuda-pemuda hasil didikan Jepang antara lain adalah Muhammad Din, Bahrin,
Zakaria, Maaris, Maat, Jalim Umar, Abdurrahim, Asa, Dersat, Hasan Sulaiman,
Ahmad Aman Bedus, Hasan Tejem dan lain-lain.
Kisah penaklukkan Van Daalen itu menjadi sebuah catatan tersendiri bagi
masyarakat Gayo Lues. Malah penulis Belanda, H C Zentgraaff dalam bukunya
“Atjeh” menggambarkan penaklukan tersebut sebagai sebuah ekspansi yang
mengerikan. Ia menyebutnya hantu-hantu di blang untuk ketangkasan pejuang Gayo
Lues menyerang Belanda secara frontal dan tiba-tiba.
Dari Luhak ke Kabupaten
Pada tahun 1946 pemerintah Aceh menetapkan daerah pedalaman menjadi satu
kabupaten (keluhakan) yang bernama Keluhakan Aceh Tengah. Luhak (Bupati) dan
ibu kota kabupaten dimusyawarahkan antara pemimpin dari Takengon, Blang Kejeren
dan Kutacane.
Setelah diadakan musyawarah terpilihlah Raja Abdul Wahab sebagai Luhak Aceh
Tengah sedangkan Takengon dipilih sebagai Ibukota, A R Hajat sebagai Patih,
Mude Sedang menjadi Wedena Takengon, M Saleh Aman Sari menjadi Wedena Gayo Lues
dan Khabar ginting menjadi Wedena Tanah Alas.
Setelah susunan pemerintahan terbentuk dan berjalan beberapa bulan mulailah
terasa kesulitan menjalankan roda pemerintahan mengingat hubungan
Takengon-Blangkejeren-Kutacane sangat jauh. Atas dasar kesulitan di atas maka
sejak tahun 1957 mulailah Gayo dan Alas berjuang membentuk kabupaten sendiri.
Setelah melalui perjuangan penuh liku-liku akhirnya pada tahun 1974 Gayo dan
Alas terbentuk menjadi kabupaten yang dinamakan kabupaten Aceh Tenggara dengan
undang-undang No. 4 Tahun 1974 tertanggal 26 Juni 1974.
Dengan berlakunya UU Nomor 5 tahun 1974, maka status kewedanan diganti dengan
sebutan Pembantu Bupati. Namun sejak tahun 1975 sampai 1981 status Gayo Lues
masih dalam status transisi karena Gayo Lues dijadikan daerah koordinator
Pemerintahan untuk empat kecamatan. Baru pada tahun 1982 kewedanaan Gayo Lues
dijadikan wilayah Pembantu Bupati Gayo Lues dipimpin oleh pembatu Bupati.
Pada akhir tahun 1997 tokoh Gayo Lues bermusyawarah di Blangkejeran
memperjuangkan daerah tersebut menjadi kabupaten. Dibentuklah panitia persiapan
peningkatan status wilayah yang diketuai oleh Drs H Maat Husin. Baru pada 2
Juli 2002 Gayo Lues diresmikan menjadi kabupaten oleh Menteri Dalam Negeri,
Hari Subarno.
Tanggal 6 Agustus 2002 Gubernur Aceh, Ir Abdullah Puteh melantik Ir.Muhammad
Ali Kasim, MM menjadi Penjabat Bupati Gayo Lues di Kutacane. Sebagai kepala
pemerintahan pertama di daerah seribu bukit tersebut.
Pesona Negeri Seribu Bukit
Kabupaten Gayo Lues terletak di antara gugusan pegunungan Bukit Barisan.
Panorama alam dengan lekukan bukit itulah yang membuat daerah tingkat dua itu
digelar dengan sebutan negeri seribu bukit.
Sebagian besar wilayahnya merupakan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Gayo
Lues sebagai daerah tingkat dua dibentuk melalui Undang-Undang nomor 4 tahun
2002, tanggal 10 April 2002.
Daerah pecahan Kabupaten Aceh Tenggara ini
memiliki berbagai potensi sumber daya alam seperti lada, kopi, nilam, tembakau,
kakao dan lain sebagainya. Untuk menghubung daerah pedalaman tersebut,
Pemerintah Aceh pernah mencanangkan pembangunan jalan jalur laut Hindia, Gayo,
Alas dan Selat Malaka (Ladiagalaska).
Sebagai daerah pegunungan, Gayo Lues mempunyai lahan yang subur untuk tanaman
dataran tinggi. Potensi alam lainnya berupa pinus, timah, emas, serta
peternakan lebah. Madu dari daerah ini dikenal nikmat karena alami dan diambil
langsung dari peternakan lebah di pegunungan.
Selain itu, kabupaten ini juga berpotensi sebagai daerah wisata, seperti di
kawasan puncak yang indah. Selain pemandangannya, adat dan kebudayaan Gayo yang
unik pun bisa menjadi objek wisata sebagai tontonan wisatawan, antara lain
tarian Saman Gayo yang katanya pernah dipertontonkan di Amerika, tarian bineus
yaitu ratapan dengan irama yang khas.
Setiap tahun pada bulan Agustus orang-orang dari seluruh kecamatan akan
berkumpul di Blangkejeren untuk menyaksikan event tahunan pacuan kuda yang
diadakan selama beberapa hari. Pacuan kuda tradisional ini jokinya adalah
anak-anak yang duduk berani di atas kuda yang berlari kencang tanpa pelana dan
tali kekang.
Gayo juga mempunyai hasil karya budaya yang indah yang menjadi kebanggaan
orang-orangnya yaitu kain kerawang; kain rajutan dengan motif khas adat dari
paduan warna hitam, kuning, merah, hijau dan oranye. Semua itu kalau digarap
dengan serius akan menjadi sebuah daya tarik tersendiri yang memesona bagi
daerah seribu bukit tersebut.
Objek Wisata Gayo Lues
Kabupaten Gayo Lues memiliki beberapa tempat wisata yang menarik, seperti
wisata air panas, terletak sekitar 60 kilometer dari Kota Blang Kejeren. Air
terjun akang siwah yang bertingkat tiga. Wisata alam yang sangat indah terletak
sekitar enam kilometer dari Kota Blangkejeren. Objek lainnya adalah even
tahunan pacuan kuda tradisional. Lomba tahunan yang diadakan setiap 17 Agustus.
Sangat menarik karena jokinya anak-anak, memacu kuda dengan kaki telanjang
tanpa pelana.[Iskandar Norman/pm]
Sumber: acehsky.blogspot.com