Keinginan Cut Nyak Meutia untuk ikut ke medan juang baru terwujud setelah menikah dengan Teuku Cut Muhammad (Teuku Chik Di Tunong). Bersama suami keduanya itu berbagai taktik perang dirancang. Penyerangan di Meurandeh Paya dikenang Belanda dalam laman-laman sejarahnya.
Nur St Iskandar dalam buku “Mutiara” terbitan Balai Pustaka, 1965
mengungkapkan, bersama suami keduanya itu, Cut Nyak Meutia menemukan kembali
identitasnya sebagai pejuang sejati. “Wanita itu selalu mendampingi suaminya
dalam setiap pertempuran dan penyerangan yang dilakukan terhadap Belanda.”
Tulis Nur St Iskandar.
Perkawinan Cut Nyak Meutia dengan Teuku Chik Di Tunong memberi semangat baru
dalam pergerakan rakyat dalam menentang penjajahan Belanda. H M Zainuddin dalam
buku “Srikandi Aceh” terbitan Pustaka Iskandar Muda, 1966 menulis bahwa Cut
Nyak Meutia bersama ayahnya dan suaminya Teuku Chik Ditunong bersama-sama
menggelorakan perlawanan rakyat terhadap Belanda.
Pada saat itu Teuku Chik Di Tunong sendiri sebagai uleebalang yang diangkat
oleh Sulthan Muhammad Daud telah mampu menunjukkan integritas pribadinya yang
tangguh sebagai seorang pejuang sejati dalam menghadapi penjajah Belanda.
Sebelumnya ia turut melakukan perlawanan bersama-sama Sulthan Muhammad Daud dan
Panglima Polem pada saat sulthan menjadikan Pasai sebagai pusat pemerintahan
dan pertahanannya.
Menurut sejarawan H M Zainuddin, Teuku Chik Di Tunong bukan hanya seorang
uleebalang yang tidak mau bekerja sama dengan Belanda, tapi juga seorang
pemimpin pasukan muslim yang ditaati oleh pengikutnya dan ditakuti oleh
penjajah. Hal yang sama juga diungkapkan sejarawan Belanda H C Zentgraaff. Ia
menulis. “Dengan dibantu oleh Cut Nyak Meutia, ia dapat melakukan penyerangan
secara mendadak bagaikan kilat, sekali di sini, sekali di sana, dan kemudian menghilang
jauh. Ia sangat bijaksana, cukup mahir dalam strategi penyerangan yang akan
dilakukannya terhadap musuh.”
Kewibawaan teuku Chik Di Tunong semakin bertambah karena bersamanya terdapat
pula ulama terkemuka yang ikut berjuang, antara lain seperti Teungku Chik Paya
Bakong yang lebih dikenal sebagai Teungku Seupoet Mata yang tuna netra, Teungku
Di Mata Ie, dan Teungku Di Barat, serta Pang Nanggroe panglima terkemuka dalam
pasukannnya.
Masih menurut Zentgraaff, Teuku Chik Di Tunong dan Cut Nyak Meutia mempunyai
kemampuan yang sangat baik dalam menyusun strategi perang melawan Belanda.
Mereka menyebarkan orang-orang kepercayaannya sebagai mata-mata untuk memantau
pergerakan musuh. Kegiatan mata-mata itu dilakukan dengan berbagai cara. Ada
yang berpura-pura sebagai pedagang sayur, pedagang buah-buahan, penjaja ikan
dan ayam, yang dengan leluasa dapat memasuki tangsi-tangsi dan bivak Belanda.
Melalui mata-mata itulah Teuku Chik Di Tunong dan Cut Nyak Meutia dalam
mengetahui berbagai informasi mengenai rencana-rencana patroli tentara Belanda,
kekuatan serta daerah tujuan patrolinya.
Strategi lain yang mereka lakukan adalah memancing pasukan Belanda untuk datang
ke daerah tertentu dengan cara menyebarkan isu seolah-olah pada hari tertentu
pasukan Aceh akan mengadakan kenduri besar di lokasi tertentu. Dengan pancingan
seperti itu Cut Nyak Meutia dan Teuku Chik Di Tunong dapat mengatur dan
mempersiapkan pasukannya untuk menyerang Belanda pada tenpat-tempat strategis.
Melalui cara itu pula keduanya mendapat banyak keuntungan, selain dapat memukul
mundur pasukan Belanda, juga dapat merampas senjata mereka. Berkat strategi
yang disusun dengan jitu itu, Teuku Chik Di Tunong dan Cut Nyak Meutia
memperoleh beberapa kemanangan yang gemilang. Sebaliknya hal itu merupakan
pukulan besar bagi Belanda.
Zentgraff mencontohkan, seperti kejadian dalam bulan Juli 1902, melalui
mata-matanya Teuku Chik Di Tunong mengetahui bahwa pasukan Belanda akan
melakukan patroli dengan kekuatan tentara sebanyak 30 orang yang dipimpin oleh
Van Steijn Parve. Pasukan Belanda itu diserang oleh Teuku Chik Di Tunong,
delapan tentara belanda tewasa yang lainnya luka-luka.
Kemudian pada Agustus tahun yang sama, pasukan Teuku Chik Di Tunong kembali
memperoleh kemenangan yang lebih gemilang dari sebelumya. Konvoi pasukan
Belanda dari Simpang Ulim diserang dari semak-semak. Tetang peristiwa itu
Zentgraaff menulis:
“Melalui penyiasatan yang terus menerus, diketahui rencana angkutan sebuah
konvoi yang akan berangkat dari Simpang Ulim. Pasukan Teuku Chik Di Tunong
ditempatkan di sebuah padang alang-alang yang tidak jauh dari Meunasah Juro. Di
tempat itulah pasukan Aceh melakukan penyerangan terhadap konvoi itu. Dalam
penyerangan tersebut tujuh orang serdadu Belanda tewas, komandan dan dua
serdadu lainnya luka-luka, dan lima pucuk senjata dapat dirampas.”
Kemudian pada November 1902, Teuku Chik Di Tunong dan Cut Meutia menyusun
sebuah strategi baru. Pang Gadeng salah seorang utusannya diperintahkan untuk
menyebarkan berita bahwa Pasukan Teuku Chik Di Tunong akan mengadakan kenduri
pada tanggal 25 November 1902 di Gampong Matang Rayeuk di seberang Sungai
Samponeit. Kampung itu dipilih karena orang hanrus menyebrang sungai terlebih
dahulu dengan perahu untuk menuju ke sana. Isu tersebut termakan oleh Belanda.
Belanda memerintahkan Letnan R.D.P de Kock untuk melakukan patroli ke sana
dengan kekuatan 45 orang serdadu. Sampai di tepi Sungai Sampoineit Letnan Kock
memerintahkan kepada pendayung perahu untuk menyebrangkan mereka. Sesuai dengan
rencana yang telah disusun oleh Teuku Chik Di Tunong dan Cut Nyak Meutia,
begitu sampau di tengah sungai, si pendayung segera menenggelamkan perahunya.
Karena begitu cepat dan tak terduga, pasukan Belanda yang ada di perahu itu
menjadi panik. Bersamaan dengan itu, pasukan Teuku Chik Di Tunong yang berada
di seberang sungai melepaskan tembakan ke arah Kock dan pasukannya yang 42
pucuk senapan mereka berhasil dirampas oleh pasukan Teuku Chik Di Tunong.
Tentang peristiwa itu juga ditulis oleh M. H. Du Croo dalam “General Swart Pacificator
van Atjeh” Masticht: Uitgaven N.V. Leiter-Nypels, 1943.
Peristiwa itu sangat memukul pemerintah Belanda, sebaliknya sangat membesarkan
semangat Teuku Chik Di Tunong dan Cut Nyak Meutia. Setelah peristiwa itu,
Gubernur Sipil dan Militer Belanda di Aceh, Van Heuttsz memperbesar pasukannya
dengan dua batalion infantri dan enam brigade marsose di bawah pimpinan Kapten
H. N. A Swart. Pasukan ini digunakan untuk melakukan operasi besar-besaran di
daerah Pasai dan Keureutoe.
Penyerangan di Meurandeh Paya
Selain peristiwa-peristiwa penyerangan itu, menurut Zentgraaff masih ada
sejumlah penyerangan lain yang dilakukan terhadap Belanda sampai akhir tahun
1903, saat turunnya Teuku Chik Di Tunong dari gerilyanya.
Pada pertengahan tahun 1903, Sulthan Muhammad Daud Syah bersama Panglima Polem
menghentikan perlawanan terhadap Belanda setelah keluarganya ditawan. Hal itu
juga dilakukan oleh Teuku Chik Di Tunong dan Cut Nyak Meutia. Pada 5 Oktober
1503 mereka turun dari tempat gerilya dengan berpura-pura menyerah pada
Belanda.
Menurut catatan Zentgraaff dalam masa tahun 1903 sampai 1905, Teuku Chi Di
Tunong melakukan konsolidasi terhadap para pengikutnya dan tetap merencanakan
perlawanan kepada Belanda. Di awal tahun 1905 terjadi lagi suatu penyerangan
yang amat dahsyat dan memilukan bagi Belanda. Pada 26 Januari 1905, sebuah
pasukan patroli Belanda dengan kekuatan 16 orang pasukan di bawah pimpinan
Sersan Vollaers berpatroli untuk memburu gerilyawan Aceh.
Vollaer sudah sangat berpengalaman dalam dalam patroli di wilayah Aceh, karena
itu ia tidak melakukannya di malam hari. Setelah melakukan patroli sehari
penuh, Vollaers dan pasukannya mencari tempat yang dianggap aman untuk
beristirahat. Mereka beristirahat di Meunasah (surau) Gampong Meurandeh Paya
yang halamannya cukup luas sehingga dapat digunakan untuk mendirikan bivak.
Pasukan Belanda itu istirahat di dalam bivak, sementara Vollaers istirahat di
dalam meunasah sambil membaca buku.
Karena merasa aman beristirahat di situ, mereka membiarkan orang-orang Aceh
keluar masuk dalam perkarangan bivak, termasuk ke dalam meunasah tempat
pedagang buah-buahan, telur ayam, dan sejumlah makanan dan menawarkannya kepada
pasukan Belanda tersebut. Akan tetapi di balik semua itu, masing-masing
“pedagang” itu dibekali dengan kelewang dan rencong. Setelah mereka masuk dan
situasi memungkinkan, salah satu di antara mereka memberikan komando untuk
menyerang. Dari 17 tentara Belanda hanya satu yang selamat setelah melarikan
diri, 16 lainnya tewas dicincang dengan pedang. Tentang penyerangan di bivak
itu, Zentgraaff menulis:
“Dengan suatu gerakan yang sangat cepat, semua orang Aceh yang ada di tempat
itu memainkan kelewang dan rencongnya, menusuk dan menebas leher serdadu
Belanda. Sasaran pertama adalah Vollaers sendiri yang sedang tidur-tiduran di
dalam meunasah sambil membaca buku. Dari 17 orang pasukan Belanda itu, 16 orang
tewas dan satu orang dapat melarikan diri melalui kampung menuju Lhokseumawe.
Begitu mengetahui peristiwa itu, dengan satu pasukan militernya dan tergesa-gesa
Kapten Swart segera menuju ke Meurandeh Paya. Tapi di sana yang mereka temukan
tinggal 16 jenazah yang tercincang secara mengerikan. Mayat sersan Vollaers itu
terdapat di atas meunasah dengan buku bacaan tergeletak di sampingnya.”
Belanda kemudian melakukan penyelidikan. Hasilnya diketahi bahwa penyerangan
itu tidak dilakukan secara tiba-tiba, tapi sudah direncanakan jauh-jauh hari.
Dan otak dibalik serangan itu diyakini oleh Belanda adalah Teuku Chik Di
Tunong. Belanda kemudian menangkap teuku Chik Di Tunong pada 5 Maret 1905
ketika menuju ke Lhokseumawe. Ia ditangkap oleh Letnan Van Vuuren dan
dijebloskan ke dalam penjara.
Hasil penyelidikan Belanda terhadap keterlibatan Teuku Chik Di Tunong dalam
penyerangan tersebut kemudian terbukti. Pemerintah Belanda kemudian menjatuhkan
hukuman mati dalam bentuk hukuman gantung kepada Tueku Chik Di Tunong. Tapi
karena sepanjang pemerintahan Belanda di Aceh belum pernah memberlakukan
hukuman gantung, Gubernur Militer Van Daalen yang menggantikan Van Heutsz mengubahnya
menjadi hukuman tembak mati, sebagai penghargaan terhadap Teuku Chik Di Tunong
sebagai pejuang yang berhak mati secara terhormat.
Selain Zentgraaff, peristiwa itu juga ditulis H M Zainuddin dalam buku
“Srikandi Aceh” terbitan Pustaka Iskandar Muda, 1966. Dalam buku itu ia
mengungkapkan, sebelum menjalani hukuman tersebut, Teuku Chik Di Tunong meminta
kepada Belanda agar dapat bertemu untuk terakhir kalinya dengan istrinya, Cut
Nyak Meutia, serta Teuku Raja Sabi, anaknya yang masih berusia lima tahun.
Selain untuk melepas rindu dan salam perpisahan pada istri dan anaknya,
pertemuan itu digunakan Teuku Chik Di Tunong untuk memberikan wasiat pada Cut
Nyak Meutia.
Ada tiga permintaan yang disampaikan Teuku Chik Di Tunong pada Cut Nyak Meutia
waktu itu, yaitu meminta Cut Nyak Meutia untuk melanjutkan perjuangan melawan
Belanda, mendidik anaknya menjadi seorang pejuang yang akan meneruskan
perjuangannya melawan Belanda, serta meminta Cut Nyak Meutia untuk bersedia
menikah dengan Pang Nanggroe, panglima perang yang selama ini mendampinginya
dalam berbagai peperangan melawan Belanda.[Iskandar
Norman]
Sumber: acehsky.blogspot.com