Di
Pandrah pernah berkecamuk perang melawan Jepang, diteruskan ke Lheu Simpang,
Jeunieb. 44 pejuang Aceh syahid dan dikuburkan dalam satu liang bersama.
Perang
yang oleh T A Jacobi dalam buku Aceh dalam Perang Mempertahankan Kemerdekaan
1945-1949 dan Peranan Teuku Hamid Azwar Sebagai Pejuang terbitan Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta (2004) dalam tulisannya menginggung tentang
pemberontakan Pandra tersebut. Peristiwa itu terjadi pada Kamis, 2 Mei 1945.
Pada tengah malam itu, Teungku Pang Akob bersama 40 orang pasukannya dari Lheu
Simpang, Jeunieb menyerbu tangsi militer Jepang di Pandrah.
Pemberontakan terhadap Jepang itu digerakkan oleh Teungku Pang Akob, Teungku
Ibrahim Peudada, Teungku Nyak Isa, Keuchik Usman, Keuchik Johan dan Teungku A
Jalil. Mereka berdakwah memompa semangat rakyat untuk berperang dengan Jepang.
Jepang yang saat itu memberlakukan kerja paksa, menuia kebencian dari masyarakat.
Hal itu dijadikan materi dakwa untuk memberontak. Secara pelahan-lahan rakyat
membangkang terhadap kerja paksa yang diberlakukan Jepang. Dan Teungku Suud
Trienggadeng salah seorang yang giat mengkampanyekan perlawanan terhadap Jepang
tersebut melalui dakwahnya.
Suatu ketika, seorang pemuda bernama Nyak Umar, kemenakan Teungku Pang Akob di
Desa Meunasah Dayah ditangkap karena membangkang menolak kerja paksa. Hal itu
memberi dorongan kuat bagi Teungku Pang Akob dalam berdakwah mengkampanyekan
jihad melawan Jepang.
Sebelum pemberontakan terjadi, Teungku Pang Akob pergi menyendiri ke sebuah gua
di Cot Kayee Kunyet, pegunungan Gle Banggalang. Sementara rakyat kampung Leu
Simpang dibawah pimpinan Keuchik Johan sudah bersiap-siap untuk menunggu
komando perang.
Nyak Umar yang pernah disiksa Jepang karena menolak kerja paksa, menyamar
sebagai penjual obat keliling. Ia berjalan dari satu kampung ke kampung lain
sambil membisikkan ajakan-ajakan jihad. Sementara itu, Muhamamd Daud, seorang
pemuda yang melarikan diri dari pendidikan Gygun, melatih para pemuda di Gle
Blanggalang untuk berperang melawan Jepang. Ia meninggalkan tempat latihan
militernya dibawah didikan Jepang karena ingin bergabung dalam pemberontakan
yang akan dilakukan Teungku Pang Akob.
Saat itu Teungku Pang Akob tidak akan melancarkan pemberontakan terhadap Jepang
pada tanggal 2 menjelang 3 Mei 1945. Alasannya persiapan belum matang. Tapi
karena sudah diketahui Jepang, maka pemberontakan pun dilakukan pada malam
menjelang tanggal 3 tersebut.
Rahasia kelompok Teungku Pang Akob diketahui oleh Jepang dibenarkan oleh Said
Ahmad dan Abdullah TWH dari Atjeh Syu Hodka (Jawatan Penerangan Aceh) mereka
diberitahu dan diminta untuk berangkat ke Jeunieb. Keduanya ditugaskan untuk
memberi penerangan kepada masyarakat tentang maksud pemerintah Jepang yang akan
memberikan “kemerdekaan” kepada Indonesia termasuk Aceh.
Tapi sebelum Said Ahmad dan Abdullah TWH sampai ke sana, pemberontakan sudah
terjadi pada tanggal 2 menjelang 3 Mei 1945. Dalam pertempuran di malam buta
tersebut, pasukan Teungku Suud Trienggadeng bersama kawan-kawannya di bawah
pimpinan Teungku Pang Akob menyerang tangsi militer Jepang di Pandrah.
Malam itu tidak ada pasukan Teungku Pang Akob yang tewas, sementara tentara
Jepang di tangsi itu berhasil dibunuh, kecuali satu orang yang berhasil
melarikan diri ke induk pasukan Jepang di Jeunieb. Tujuh anggota Gyugun juga
ditangkap di tangsi tersebut, tapi tidak diapa-apakan. Kemungkinan sudah ada
kontak terlebih dahulu sebelum penyerangan itu dilakukan.
Setelah penyerbuan tersebut, Teungku Pang Akob dan pasukannya mengundurkan diri
ke markasnya di Gle Banggalang untuk bersiap-siap melakukan penyerbuan baru.
Meski mengetahui keberadaan Teungku Pang Akob dan pasukannya, Jepang tidak
menyerbu tapi menunggu mereka menyerah dan melakukan perjanjian damai.
Mereka dibujuk untuk turun gunung dan tidak akan dihukum. Said Ahmad dan
Abdullah TWH dikirim sebagai utusan untuk upaya damai tersebut. Teungku Pang
Akob kepada para utusan tersebut mengatakan akan turun untuk berdamai pada 5
Mei 1945 dan tentara Jepang tidak perlu naik ke Gle Banggalang.
Pagi 5 Mei 1945, para perwira Jepang sudah berkumpul di Meunasah Lheu Simpang
bersama satu pasukan siap tempur. Di antara mereka terdapat pejabat beberapa
pejabat daerah diantaranya Teuku Yakub, Guntyo Bireuen, Said Ahmad Dahlan dan
Abdullah TWH dari Atjeh Syu Hodoka.
Mereka berkumpul di Meunasah Lheuh Simpang untuk menunggu kedatangan Teungku
Pang Akob dan pasukannya dalam rangka perjanjian damai sebagaimana pernah dijanjikan
dua hari sebelumnya.
Para perwira Jepang duduk di Meunasah, sementara pasukan yang siap tempur
berjaga-jaga di kawasan tersebut. Tiba-tiba terdengar teriak takbir: Allahu
Akbar terdengar membahana terus menerus. Gegap gempita suara takbir tersebut membuat
Jepang ketakutan dan kalang kabut.
Dalam kepanikan Jepang tersebut, Teungku Pang Akob dan pasukannya keluar dari
alur rimbun yang ditutupi dedaunan. Mereka menyerbu ke perangan meunasah
menebas dan menikam tentara Jepang.
Said Ahmad Dahlan dan Abdullah TWH lari menyelamatkan diri dalam sebuah alur
yang airnya tidak mengalir (alue siwong). Keduanya baru keluar setelah perang
reda. Saat keluar badan mereka menempel puluhan lintah.
Pertempuran itu selain menewaskan para perwira Jepang dan serdadunya, juga
Guntyo Bireuen, Teuku Yakub ikut menjadi korban. Menurut Said Ahmad Dahlan dan
Abdullah TWH, saat mereka keluar dari alur persembunyian mereka melihat
tubuh-tubuh Jepang bergelimpangan bersama pasukan Teungku Pang Akob yang ikut
tewas dalam perang tersebut. Kemudian diketahui jumlah pasukan mujahidin yang
meninggal berjumlah 44 orang. Sampai kini Teungku Pang Akob dan pasukannya yang
tewas itu dikenal sebagai Syuhada 44.
Dampak dari perang di Meunasah Lheu Simpang tersebut, Jepang melakukan penangkapan
paksa di Jeunieb terhadap siapa saja yang dicurigai terlibat penyerangan tangsi
militer Jepang di Pandrah dan pertempuran di Meunasah Lheu Simpang.
Para pemuda yang ditangkap dan ditawan Jepang sebagiannya setelah melalui
proses pemeriksaan dan penyiksaan dibebaskan kembali dalam keadaan babak belur.
24 orang yang dianggap bersalah diangkut ke Medan, 12 diantaranya tidak lagi
diperiksa tapi langsung di eksekusi mati di sana.
Mereka yang dihukum mati itu adalah: Teungku Abdul Wahab Ali, Teungku Usman Yusuf,
Teungku Muhammad Yakub, Teungku Abu Thalib, Teungku M Hamzah, Teungku M Husin
Bungong, Teungku Agam Cut, Teungku Abdullah, Teungku Harun, Teungku Husin Bin
Pawang Usman, Teungku Abdullah Jeumpa Sikureung dan Teungku Abdul Jalil Pang.
12 orang lainya dihukum antara 5 sampai 12 tahun penjara dan dipenjarakan di
penjara Pematang Siantar. Enam orang diantara mereka tewas dalam penjara karena
mengalami penyiksaan berat. Empat dari orang yang tewas dalam penjara itu
adalah Teungku Thalib Beungga, Teungku Badal Husin Peusangan, Teungku Muhammad
Aji Yusuf dan Teungku Ilyas Yusuf.
Enam orang lainnya dibebaskan dan kembali ke Aceh setelah Jepang kalah. Mereka
adalah Teungku Yahya, Keuchik Muhammad Ali, Teungku Muhammad Ali Tineuboek,
Teungku Isham Banta Panjang, Teuku Ibrahim Beungga dan Teungku Muhammad Hasan
Ali.
Sementara 44 orang syuhada yang gugur dalam perang melawan Jepang di Meunasah
Lheu Simpang, Pandrah pada 5 Mei 1945 adalah: Teungku Siti Aminah, Teungku
Ibrahim Meulaboh (suami Teungku Siti Aminah), Teungku Mahmud Ben, Teungku
Ismail Rahman, Teungku Sabon Piah, Teungku Usman Lheu, Teungku Muhammad Adam
Rifin.
Teungku Ibrahim Yusuf, Teungku Muhammad Yusuf Gagap, Nyak Abu Bakar Amin,
Teungku Muhammad Amin, Teungku Mat Kasim, Teungku Meulaboh, Teungku Muhammad
Hasan Banta, Teungku Suleiman Ali, Teuku Nyak Isa, Teungku Kasim, Teungku
Muhammad Yakob, Petua Jalil, Teungku Muhammad Yusuf Ben Dayah, Teungku Jalil
Ben.
Keuchik Johan, Abu Keuchik Lheu, Muhammad Gam, Teungku Saleh Ismail, Teungku
Ismail Ahmad, Teungku Mahmud Bin Abdurrahman, Teungku Ahmad Itam, Teungku
Ibrahim Ali, Nyak Umar Adam, Teungku Abdullah Ben, Teungku Sulaiman Lheu,
Teungku Ahmad Gampong Blang, Teungku Ahmad Usman.
Teungku Ibrahim Yusuf, Teungku Ismail Rifin, Teungku Abdullah Gampong Blang,
Teungku Saleh Ben Tulot, Teungku Ibrahim Husin, Teungku Suud Tringgadeng,
Teungku Saleh Gampong Blang, Teungku Nyak Zulkifli Yusuf, Teungku Saleh Bin
Abdurrahman, dan syahid yang ke 44 adalah bayi dalam kandungan Teungku Siti
Aminah.[Iskandar Norman/PM]
Sumber: acehsky.blogspot.com