Muhammad
Arifin, Putra Mahkota Moko-moko, Bengkulu memainkan peran ganda dalam perang
Aceh. Sebagai mata-mata Belanda ia menyeret Syahbandar Kerajaan Aceh, Panglima
Muhammad Tibang membelot ke pihak Belanda di Singapura pada akhir 1872.
Perjanjian Aceh dengan Amerika Serikat pun gagal.
Siapa
sebenarnya Tengku Arifin yang berhasil membuat Belanda mempercepat invansinya
ke Aceh pada Maret 1873 itu? Menurut Menurut M Nur El Ibrahimi dalam buku Selayang
Pandang Langkah Diplomasi Kerajaan Aceh, Tengku Muhammad Arifin
merupakan anak seorang pangeran asal Bengkulu yang mempunyai hubungan dengan
kraton Aceh.
Ia
pernah menikah dengan kemenakan Sultan Aceh. Ia berhasil meyakinkan Panglima
Tibang untuk menggunakan jasanya sebagai penerjemah di Singapura karena mengaku
kenal baik dengan Konsul Amerika di Singapura, Mayor Studer.
Tengku
Muhammad Arifin sebelumnya memang pernah bertemu dengan Studer. Ketika itu ia
meminta bantuan kepada Konsul Amerika di Singapura tersebut untuk meminta
bantuan agar ayahnya kembali mendapat mahkota kerajaan yang telah dicopot oleh
Belanda.
Pertemuan
kedua dengan Studer dilakukan Tengku Muhammad Arifin ketika mencoba menyeret
Amerika dalam masalah Aceh. Sebelum Panglima Tibang ke Singapura Tengku
Muhammad Arifin pernah menemui Panglima Angkatan laut Amerika di Hongkong,
Laksaman Jenkis. Pertemuan dengan Jenkis itu dilakukan ketika ia singah di
Singapura dalam perjalannya ke Kalkuta.
Saat
bertemu dengan Jenkis di Singapura, Tengku Muhammad Arifin berpura-pura sebagai
pangeran yang mempunyai hubungan dengan kerajaan Aceh. Kepda Jenkis ia
menanyakan apakah tidak mempunyai keinginan untuk mengikat suatu perjanjian
dengan Kerajaan Aceh.
Namun
Jenkins menjawab bahwa Amerika tidak seperti Inggris dan Belanda. Amerika tidak
mempunyai ambisi teritorial. Jawaban tersebut membuat Arifin tidak berani
membuka mulut lagi. “Jadi, usaha Arifin untuk menyeret Amerika intervensi ke
dalam hubungan Belanda dengan Aceh sudah dimulai sebelum Panglima Tibang tiba
di Singapura,” jelas M Nur El Ibrahimy.
Namun
Arifin terus memainkan peran gandanya. Di satu sisi ia penerjemah Panglima
Tibang, di sisi lain ia adalah mata-mata Belanda yang menyampaikan segala
gerak-gerik Panglima Tibang di Singapura kepada Belanda. Hal inilah salah satu
penyebab meletusnya perang Aceh dengan Belanda.
Hal
itu terkuak ketika Jamer Warren Gould, seorang penulis asal Amerika Serikat,
ahli internasional relation dari California, melakukan penelitian untuk
mengetahui sebab-musabab perang Aceh. Tahun 1957 ia berhasil meyakinkan pemerintah
Belanda untuk membuka dokumen rahasia tentang Aceh. Kisah peran ganda
Arifin dan pengkhianatan Panglima Tibang pun terungkap. Sebelumnya tak ada yang
tahu bagaimana peristiwa bersejarah itu terjadi.
Hasil
penelitian itu dimuat dalam majalah Annals of Iowa. Dunia pun
terperanjat, karena peristiwa itu sudah 80 tahun ditutupi Belanda. Kisahnya
bermula dari Panglima Tibang selaku utusan kerajaan Aceh dengan Konsul Amerika
di Singapura, Mayor Studer.
Pertemuan
itu juga dinilai sebagai gebrakan berani diplomasi luar negeri Aceh dalam
mempertahankan kedaulatannya. Pertemuan itu oleh Belanda disebut sebagai Het
Veraad van Singapore yang bermakna pengkhianatan di Singapura.
Panglima
Muhammad Tibang menjumpai Studer untuk membahas perjanjian kerja sama antara
Aceh dan Amerika, karena itu Studer dianggap Belanda sebagai pengkhianat yang
ingin berkomplotan dengan kerajaan Aceh.
Maklum
hubungan Aceh dengan Belanda saat itu tidak baik. Sultan Aceh dituduh
berkhianat karena melanggar perjanjian perdamaian dan persahabatan dengan
kerajaan Belanda. Perjanjian itu dibuat pada tahun 1857. Panglima Tibang dan
Mayor Studer dinilai Belanda bertanggung jawab terjadap meletusnya perang Aceh
dengan Belanda.
Hasil
penelitian Jamer Warren Gould mengungkapkan bahwa pengkhianatan di Singapura (Het
Veraad van Singapore) yang dituduh Belanda ternyata bukan Mayor Studer
dan Panglima Tibang, tapi Tengku Muhammad Arifin, seorang mata-mata Belanda dan
Read Konsul Belanda di Singapura.
Peristiwa
tentang Aceh itu lebih mengejutkan lagi bagi dunia internasional setelah
terbitnya buku De Atjeh Oorlog karangan Paul van’t Veer.
Melalui buku itu dunia internasional lebih mengetahui apa yang sebenarnya
disebutkan Belanda Het Veraad van Singapore yang telah
menjerumuskan Aceh dalam perang panjang dengan Belanda.
Di
sana terungkap, setelah Panglima Tibang tiba di Kutaraja dari Singapura, suatu
berita penting sampai ke telinga Sultan Aceh, yaitu Belanda akan menyampaikan
ultimatum kepada Sultan Aceh. Atas perintah Sultan, Panglima Tibang mendadak
berangkat ke Riau untuk meminta keterangan kepada Schiff, Residen Riau yang
melaksanakan operasi politik ke Aceh dan sebelah timur. Sebelah barat operasi
politik ke Aceh dilaksanakan oleh van Swieten, Gubernur Sumatra Barat.
Panglima
Tibang berangkat bersama delegasi Kerajaan Aceh yang terdiri dari Tgk Nyak
Muhammad, Tgk Lahuda Muhammad Said, Tgk Nyak Akob, serta Tgk Nyak Agam.
Panglima Tibang bertindak sebagai ketua delegasi tersebut. Kepada delegasi Aceh
Schiff membantah bahwa Belanda akan menyampaikan ultimatumnya. Belanda tetap
beritikad baik terhadap Sultan dan tetap memegang teguh perdamaian dan
persahabatan dengan Aceh.
Setelah
sebulan di Riau, Panglima Tibang diantar pulang ke Aceh dengan kapal perang
Marnix. Tetapi ia mengatakan kepada Schiff ingin singgah ke Singapura untuk
membeli sebuah kapal api guna kepentingan transportasi di Aceh.
Di
Singapura Panglima Tibang melakukan pertemuan dengan Konsul Amerika, Mayor
Studer. Seperti pada kesempatan pertama, kali ini Panglima Tibang juga ditemani
oleh Tengku Muhammad Arifin, yakni mata-mata Belanda yang diutuskan oleh Konsul
Belanda di Singapura, Read setelah menerima informasi dari Schiff di Riau.
Dalam
pertemuan itu Tengku Muhammad Arifin dipakai oleh Panglima Tibang sebagai
penerjemah. Padahal sebelumnya Panglima Tibang telah menggunakan orang lain,
namun atas bujuk rayu Tengku Muhammad Arifin penerjemah itu tidak dipakai. Maka
muluslah usaha Tengku Muhammad Arifin untuk memata-matai pertemuan Panglima
Tibang dengan Studer.
Panglima
Muhammad Tibang meminta kepada Studer untuk membuat naskah perjanjian di
Singapura dan dikirim ke Washintong, Amerika Serikat secepatnya. Ia menilai
perjanjian itu sangat mendesak untuk dibuat. Tapi Studer mengatakan ia tidak
punya wewenang untuk membuat perjanjian tersebut. Meski demikain ia berjanji
mengirim perjanjian yang telah ditandatangani oleh Sultan Aceh kepada
Pemerintah Amerika.
Mereka
kemudian mendiskusikan masalah-masalah yang dirasakan layak menjadi isi dan
perjanjian Aceh-Amerika, yakni mengenai hal-hal yang diinginkan oleh Amerika
dan yang dapat diberikan oleh Aceh dalam batas-batas yang wajar.
Arifin
yang ternyata mata-mata Belanda, membocorkan isi pertemuan itu kepada Konsul
Belanda di Singapura, Read. Namun apa yang disampaikannya berbeda jauh
dengan isi pembicaraan yang ia dengar.
Kepada
Read ia mengatakan bahwa Studer telah menyusun sebuah perjanjian antara Aceh
dengan Amerika yang terdiri atas 12 pasal dan akan menulis surat kepada
Laksamana Jenkis pemipin armada Amerika di Hongkong untuk berangkat ke Aceh.
Dengan kebohonganya itu Arifin meminta kepada Belanda untuk segera mengirim
kapal perangnya ke Aceh.
Kebohongan
Arifin Terungkap
Kebohongan
Arifin terungkap dalam surat Read tertanggal 15 Juni 1873 kepada Menteri Luar
Negeri Belanda, Gericke yang isinya “Untuk memastikan isi perjanjian itu
Muhammad Arifin telah membuatnya begitu katanya dalam bentuk perjanjian yang
pernah dibuat antara beberapa negara dengan Siam, rancangan yang dibacakan
sendiri oleh Muhammad Arifin kepada Studer, tetapi Studer kurang setuju dengan
rancangan perjanjian tersebut. Ia mengambil sebuah buku, kemudian membaca teks
perjanjian Brunei dalam bahasa Inggris, yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Melayu oleh seorang kerani konsulat, sedangkan Arifin menulisnya”.
Mayor
Studer sendiri kemudian menerangkan dalam laporannya, bahwa sama sekali tidak
bermaksud mengusulkan diadakannya perjanjian dengan Aceh. Akan tetapi, Arifin
lah yang mengajukan dengan membawa naskah rancangan perjanjian itu kepadanya.
Panglima Tibang hanya membawa sebuah surat dari Sultan Aceh yang meminta
bantuan Amerika Serikat.
Keterangan
Studer ini sesuai dengan pengakuan Arifin di dalam proses verbal yang dibuat di
depan Jenderal Verspijk, Kepala Biro Perbekalan Peperangan Belanda yang sedang
mempersiapkan ekspedisi Belanda kedua terhadap Aceh.
Rancangan
perjanjian yang dibuat oleh Arifin bukan diserahkan kepada Studer dalam
pertemuan antara Studer dan Panglima Tibang, tetapi diserahkan pada waktu
Arifin datang sendirian mengunjungi Studer beberapa waktu setelah pertemuan
dengan Panglima Tibang usai.
Sebenarnya,
setelah pertemuan antara Panglima Tibang dan Studer usai, Arifin tidak langsung
mengirimkan laporan kepada Read karena pada waktu itu Read berada di Bangkok.
Samua hal yang tidak dapat dimengerti adalah mengapa Arifin tidak menyampaikan
laporan tersebut kepada Meir, wakil Read.
Baru
dua minggu setelah itu Arifin menulis surat kepada Read di Bangkok mengenai
pertemuan antara Panglima Tibang dan Studer. Setelah menerima surat Arifin,
Read langsung kembali ke Singapura. Segera Arifin diperintahkan untuk berangkat
ke Riau menyampaikan laporan tersebut kepada Residen Schiff. Ia diberi uang
saku $ 2,00 permil dan $ 25,00 uang jalan.
Terungkapnya
Sebuah Intrik
Setelah
dua hari berada di Singapura Read mengirim kawat kepada Gubernur Jenderal
Hindia Belanda, Loudon mengenai pertemuan Panglima Tibang dengan Studer. Isinya,
“Intrik-intrik yang sangat serius antara perutusan Aceh dan konsul Amerika di
Singapura terungkap; hal ini memerlukan pertimbangan langsung. Perincian
dikirim dengan kapal yang pertama.”
Keesokan
harinya, Read mengirimkan laporan seperti berikut: “Perutusan menyampaikan
kepada Konsul Italia dan Amerika surat Sultan Aceh yang meminta bantuan unruk
menghadapi Belanda. Konsul Amerika berjanji akan menyurati Laksamana Jenkins di
Cina dan telah menyusun sebuah perjanjian 12 pasal yang akan ditandatangani oleh
Sultan dan akan mengirimkan kembali. Orang-orang Amerika siap sedia datang
dalam waktu dua bulan. Informasi ini kiranya mendapat kepercayaan sepenuhnya”.
Laporan
Read tersebut menimbulkan kegemparan di Batavia. Sebuah telegram yang
mengandung pokok-pokok soal yang terdapat dalam laporan Read dikirim oleh
Loudon ke Den Haag. Pada tanggal 18 Februari 1873 Menteri Luar Negeri Belanda
memohon kepada raja untuk menjamin keamanan di Aceh seperti yang diwajibkan
oleh perjanjian 1824.
Pada
hari yang sama Menteri Luar Negeri Belanda meminta kepada Washington dan Roma
untuk menyangkal tindakan-tindakan konsulnya di Singapura dan menjernihkan
permasalahan bersama dengan negara-negara besar lainnya, atas dasar bahwa
perlindungan terhadap perdagangan di perairan Aceh menjadi kewajiban Belanda.
Di
samping itu, Kementerian Luar Negeri Belanda mengirimkan nota kuasa kepada Duta
Besar Belanda di Washington untuk menyampaikan kepada Fish, Menteri Luar Negeri
Aimerika, suatu nota yang menggambarkan bahwa Belanda telah melaksanakan
kewajibannya menjamin keamanan pelayaran dan perdagangan di perairan Aceh
sesuai dengan isi perjanjian yang ditandatanganinya dengan Inggris.
Selain
itu, disebutkan pula Belanda telah mengetahui bahwa perutusan Aceh telah
mengadakan hubungan dengan Konsul Amerika di Singapura. Belanda bermaksud
mengadakan suatu perjanjian dengan mereka. Bahkan lebih jauh, Amerika
disebutkan sedang bersiap-siap memanggil panglima angkatan lautnya di Laut Cina
agar datang membawa kapal perangnya ke perairan Aceh.
Pemerintah
Belanda memandang tindakan-tindakan tersebut dapat meningkatkan perlawanan
Aceh, dan yakin bahwa Pemerintah Amerika Serikat tidak bermaksud merintangi
Belanda, bahkan sebaliknya akan bersimpati dan memberikan dukungan dalam usaha
melaksanakan action civilisatrice (usaha membawa peradaban).
Sebagai
langkah selanjutnya Belanda memohon kepada Menteri Luar Negeri Amerika agar
meminta Studer menghentikan usahanya mengadakan peranjian dengan perutusan
Aceh.
Pada
tanggal 19 Februari 1873 Den Haag mengirim kawat kepada Batavia sebagai
berikut: “Jika Anda tidak merasa bimbang terhadap kebenaran informasi Konsul
Singapura, kirimkan angkatan laut yang kuat ke Aceh untuk meminta penjelasan
dan pertanggungjawaban atas sikap bermuka dua dan khianat itu.”
Kawat
tersebut merupakan lampu hijau bagi Gubernur Jenderal Hindia Belanda (Loudon)
untuk menggempur Aceh. Memang, inilah
yang ditunggu-tunggu Loudon meskipun sewaktu menjadi Menteri Jajahan menganut
politik non-intervention atau tidak campur tangan.
Setelah menjadi
Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Loudon merupakan seorang penjajah yang sangat
bernafsu untuk menaklukkan Aceh. Ia menanggapi hal itu dengan mengatakan. “Selama
kedaulatan kita tidak diakui, tetap ada campur tangan asing yang mengancam kita
seperti pedang Democles.”
Pada
21 Februari 1873 Loudon mengadakan rapat Dewan Hindia yang dihadiri juga oleh
pemimpin-pernimpin militer. Sehari kemudian ia mengirim telegram ke Den Haag,
Belanda isinya: “Dewan Hindia di Batavia yang saya pimpin dengan dihadiri oleh
jenderal dan laksamana, menyetujui usul saya untuk mengirim secepat mungkin
komisi yang didukung oleh empat batalyon ke Aceh untuk menyampaikan ultimatum,
adakala pengakuan kedaulatan, adakala perang. Kita akan hadapi Amerika dengan
fait accompli. Presiden Nienwenhuijzen adalah orangnya.”
Hal
inilah yang kemudian membuat Belanda mengultimatum Aceh yang akhirnya membuat
perang Aceh dengan Belanda meletus. [Iskandar Norman]
Sumber: acehsky.blogspot.com