Aceh sejak zaman dahulu
memiliki para diplomat ulung yang menjalin hubungan dengan luar negeri. Kisah
ambasador Abdul Hamid salah satunya. Menurut
Prof Osman Raliby dalam sebuah tulisan tentang Aceh, dunia orang Aceh berubah
cepat karena pengaruh agama Islam. Hal itu kemudian ditambah dengan
bersentuhannya Aceh dengan pedagang-pedagang internasional yang mencari
rempah-rempah ke Aceh sejak abad ke 14.
Namun, sejak 18 Agustus
1511, Portugis yang menduduki Malaka menjadi ancaman bagi perdagangan
rempah-rempah di Aceh. Raja Aceh yang sudah melakukan kontak dagang dengan
kerajaan-kerajaan Islam di India, Persia, Mesir, Turki, dan Bandar-bandar
dagang di Laut Merah, menyadari hal tersebut. Akan tetapi tetap menjaga
hubungan dengan Portugis.
Persaingan dagang
kemudian membuat hubungan itu renggang, karena Portugis berhasrat untuk
memonopoli perdagangan rempah-rempah di Selat Malaka. Karena itu pula Portugis
berusaha menghentikan semua pengangkutan rempah-rempah dari pelabuhan Aceh.
Malah, pada tahun
1520 Laksamana dan Raja Muda Portugis di Goa, Dirgo Lopez De Sequeira mengancam
dengan mengultimatum akan menyerang kapal-kapal yang melakukan kontak dagang
dengan Aceh. Aceh dan Portugis pun menjadi musuh
bubuyutan di selat Malaka.
Sembilan
tahun kemudian (1529) Portugis ingin merebut pelabuhan Pidie dan Pase yang
menjadi bandar perdagangan rempah-rempah. Namun usaha Portugis tersebut gagal.
Raja Aceh berhasil menghalau Portugis untuk kembali ke Malaka. Malah pada
Desember 1529, kapal-kapal Aceh muncul di depan Canannore di Pantai barat
India, membantu armada Raja Kalicut yang bertempur melawan angkatan laut
Portugis di Goa.
Selanjutnya,
menurut Prof. Dr. H. Aboebakar Atjeh, dalam tahun 1599--saat itu Aceh dipimpin
Sultan Alauddin Riayatsyah yang dikenal dengan sebutan Sayid Al Mukammal
(1588-1604)— Belanda datang ke Aceh merintis perdagangan rempah-rempah.
Orang pertama Belanda
yang datang ke Aceh itu adalah dua bersaudara Cornelis de Houtman dan Frederik
de Houtman. Keduanya diutus oleh Zeewsche reeder Balthazar de Moecheron,
Belanda. Keduanya datang dengan dua kapal besar dan berlabuh di Pelabuhan
Kerajaan Aceh.
Menyadari adanya misi
dagang Belanda ke Aceh, Portugis yang sudah duluan menduduki Malaka menghasut
Kerajaan Aceh untuk tidak menerima misi dagang Belanda itu. Pasalnya, Portugis
tetap berkeinginan untuk memonopoli perdagangan renpah-rempah. Apalagi waktu
itu Portugis bermusuhan dengan Belanda.
Raja Aceh pun
terpengaruh, dua utusan dagang Belanda itu, Frederick de Houtman dan Cornelis
de Houtman ditahan. Karena negoisasi ekonomi yang gagal maka Cornelis pun
kemudian dibunuh. Sementara Frederick ditangkap dan ditawan. Kedua kapal
Belanda itu pun berlayar kembali ke Middelburg, Belanda.
J Kreemer, seorang
penulis Belanda dalam buku “Atjeh” menjelaskan, pada November 1600 Paulus van Caerden, teman
sepelayaran dengan Pieter Both memerintahkan kembali dua buah kapal dari Brabantsche Compagnie untuk
merintis hubungan dagang dengan Aceh.
Paulus van Caerden
berhasil membuat suatu perjanjian dagang dengan Aceh, tapi karena saat itu Aceh
masih terus dihasut oleh Portugis untuk tidak bekerja sama deangan Belanda.
Muatan rempah-rempah dibongkar kembali dari kapal Belanda, mereka pun kembali
ke Belanda tanpa hasil apa-apa.
Saat itulah Federick de
Houtman berhasil lari dari tawanan orang Aceh dan naik ke kapal Van Caerden
untuk melarikan diri. Tapi ia kemudian mengurungkan niatnya dan kembali
menyerahkan diri kepada Sultan Aceh. Cerita tentang peristiwa tersebut
terangkum dalam De
Europeers in den Maleishen Archipel, dan Het handelsverdrag van V
Caerden, dalam
buku J.E
Heeres: Corpus Diplomaticum. Sebuah
catatan tentang diplomasi dagang Belanda ke Malaka.
Pun demikian, Belanda
terus berusaha untuk merintis perdagangan rempah-rempah ke Aceh.Diminasi Portugis di Selat Malaka dalam
perdagangan ingin direbut Belanda. Karena pedagang pedagang dari Belanda terus
saja berdatangan ke Kerajaan Aceh untuk melakukan kontak dagang hubungan dagang
antara Aceh dan Portugis jadi putus.
Hubungan
dagang Kerajaan Aceh dengan Kerajaan Belanda pun resmi terjalin pada tahun
1601. Ketika itu Raja Belanda, Print Maurist melalui utusannya ke Aceh yang
merintis kembali urusan dagang, mengirim sepucuk surat serta hadiah-hadiah dari
Kerajaan Belanda untuk Raja Aceh.
Pedagang-pedagang
dari Belanda yang membawa surat dan hadiah tersebut datang dari misi dagang
Gerard le Roy dan Laurens Bicker dengan beberapa buah kapal dari maskapai Zeeuwyang
merupakan sebuah eskader dari Middelburg.
Utusan Raja Belanda itu
ipun diterima dengan baik oleh Raja Aceh. Kepada mereka diberikan ijin
mendirikan maskapai dagang untuk membeli rempah-rempah di Aceh. Sementara
Frederick de Houtman dan teman-temanya yang ditahan oleh Sultan Aceh
dibebaskan.
Ketika kapal Zeeuw berangkat
dari Aceh membawa rempah-rempah ke Belanda, Sultan Aceh mengirim utusannya ke
Belanda dengan menumpang kapal tersebut untuk menguatkan perjanjian
persahabatan antara Aceh dan Belanda. Utrusan Aceh yang dikirim Sultan Alauddin
Riayatsyah al Mukamil itu adalah, Abdul Hamid, duta besar Kerajaan Aceh,
Laksamana Sri Muhammad, Mir Hasan, dan seorang bangsawan Aceh, serta penerjemah
Leonard Werner.
Rombongan ini tiba di
Belanda pada bulan Agustus 1602. kedatangan mereka disambut besar-besaran. Pada
9 Agustus Duta besar Aceh, Abdul Hamid meninggal di sana dan dimakamkan
diperkarangan gereja St Pieter di Middelburg, Zeeland. Sejarah pertemuan duta
Aceh dengan Raja Belanda, Print Maurist tersebut kemudian ditulis oleh Dr. J.
J. F. Wap dalam
buku “Het
gezantschap van den sultan van Achin (1602) aan Print Maurits van Nassau en de
Oud-Nederlandsche Republiek,” 1862.
Traktrat London
Pada
2 November 1872, lima bulan sebelum perang dipermaklumkan, Belanda telah
memperolah kekuasaan dari Inggris untuk berkuasa di Sumatera. Aceh pun
menggeliat, karena menilai Ingris telah mengingkari perjanjian dengan Aceh pada
tahun 1819 melalui Traktat London.
Dalam
Traktat London tersebut, Inggris menyatakan menghormati kemerdekaan Aceh dan
melindungi pelayaran di Selat Malaka. Karena itu pula Aceh berlindung dibalik
perjanjian tersebut. Tapi setelah 2 November 1872, Inggris memberi kekuasaan
kepada Belanda untuk berkuasa di Sumatera dengan tidak akan ikut campur dengan
urusan Sumatera, maka Traktat London itu seakan tak lagi punya arti.
Belanda
yang ingin menancapkan kekuasannya di Sumatera pun mulai tidak menghormati
kedaulatan Aceh. Mereka sering menggangu kapal-kapal niaga yang akan berlabuh
dari dan ke Aceh. Alasannya, memberantas pembajakan dan lalu lintas perdagangan
budak.
Padahal
Belanda ingin memonopoli perdagangan rempah-rempah di Selat Malaka.Untuk tujuan
itu, Aceh harus di rebut. Berbagai surat pun dikirim ke Sultan Aceh, tapi
selalau dijawab dengan tegas, menolak campur tangan Belanda dalam perdagangan
di Aceh.
Karena
itu pula, orang-orang Aceh sering merampas kapal Inggris, Belanda, Italia dan
Amerika yang melewati Selat Malaka. Alasannya, kapal-kapal tersebut membawa
rempah-rempah yang dibeli secara illegal di berbagai pelabuhan di pantai Aceh
bagian barat dan utara, serta membawa barang seludupan.
Sikap
Aceh terhadap Belanda semakin lama semakin bermusuhan. Khawatir akan terjadi perang
besar dengan belanda. Pada tahun 1868 Aceh melakukan perundingan rahasia dengan
Turki. Tapi Turki waktu itu sangat terikat dengan Inggris, yang membutuhkan
bantuan untuk melawan Rusia.
Diplomasi dengan Amerika
Tahun 1872 menjaleng
penyerangan Belanda ke Aceh. Utusan Aceh mengadakan perundingan rahasia dengan Konsul Jenderal
Amerika dan Italia di Singapura. Dalam pertemuan itu, Konsul jenderal Amerika
di Singapura, Mayor A.G Studer memberikan perhatian khusus terhadap pertikaan
Aceh dengan Belanda.
Ia
mengatakan ingin terlibat membantu Aceh. Untuk
itu Studer mengirim kawat kepada Panglima skadron angkatan laut Amerika yang
sedang melakukan patroli di Laut Cina. Ia menginginkan agar kapal tersebut
terus melaju ke Singapura untuk membantu Aceh.
Sambil
menunggu angkatan laut Amerika tersebut, Studer merancang konsep perjanjian
persahabatan antara Aceh dengan Amerika. Tapi usaha Studer itu gagal, karena
Menteri Luar Negeri Amerika saat itu, Hamilton Fish, menolak untuk memberikan
perhatian khusus pada persoalan Aceh dengan Belanda.
Bahkan
dalam suratnya kepada Duta Besar Amerika di Denhaag Belanda, Hamilton menyebut
Stuger sebagai konsul yang tolol. “Orang itu (Stuger-red) benar-benar
tolol,” tulis Hamilton dalam suratnya. Diplomasi Aceh untuk bekerja sama dengan
Amerika pun gagal. Padahal Stuger dan utusan Aceh di Singapura, saat itu telah
membuat konsep perjanjian dalam bahasa Inggris dan Melayu.
Ternyata
dalam pertemuan utusan Aceh dengan konsul Amerika dan Italia di Singapura waktu
itu, juga hadir seorang mata-mata Belanda yang kemudian membocorkan rencana
kerja sama Aceh dengan Amerika tersebut. Belanda pun memaikan peran baru,
memaklumatkan perang dengan Aceh, karena tak ingin Aceh menjalin kerja sama
dengan negara lainnya untuk menghadapi Belanda.
Sejarah
Aceh pun terus bergerak dari satu perang ke perang lainya. Belanda mencatat
sebagai perang terlama dan paling banyak menguras kas negara, plus darah dan
nyawa. Andai konsep perjanjian Aceh dengan Amerika ditandatangani, mungkin
simpul sejarah Aceh akan bergerak ke arah lain.[Iskandar
Norman]
Sumber: acehsky.blogspot.com