Pertengahan abad sembilan belas pers banyak mengkritik usaha
perluasan kekuasaan Belanda di nusantara yang mengabaikan cara-cara beradab.
Tinggal Aceh yang belum dikuasai.
harian Algemeen Dagblad van Nederland Indie, yang diasuh C Busken Huet sebagai redaktur kepala juga menyorot
hal itu. Intinya Aceh harus dikuasai untuk kepentingan ekonomi Belanda.
Busket Huet berangkat ke Batavia pada
tahun 1866, setelah mengalami kesulitan dengan koran“De Gids”  yang terkenal di Belanda. Meski wartawan, ia memberi
keyakinan kepada pemerintah Belanda, bahwa di daerah jajahan Belanda tidak
perlu sama sekali kebebasan pers.
Menteri jajahan Belanda,
JJ Hanselman yang menjabat 1867 sampai 1868 menggantikan De Waal, menyetujui
hal itu. Malah ia berpendapat, pers di Betawi yang saat itu hanya ada tiga
koran yang terbit dua minggu sekali, sedang mengalami kebebasan yang dinilai
akan menggerogoti pemerintah Hindia Belanda.
Atas saran mantan
gubernur jenderal, Rochussen Hasselman akhirnya Busker Huet dikirim ke Jawa
untuk menjadi redaktur koran Java
Bode. Tugas rahasianya, mengajukan usul-usul untuk melakukan
reorganisasi pers.
Tulisan Huet yang pertama
di Java
Bode berjudul Wenschen entegenstrijdigheden (keinginan dan pertentangan) berisi anjuran diadakannya sensus pers secara preventif. 
Hal ini diungkap Paul Van T Veer  dalam buku Perang Belanda di Aceh. Ia menilai
sikap Huet sebagai
pandangan aneh seorang wartawan. Huet juga pernah mengalami banyak kesulitan
akibat  tulisannya di “De
Gids” pada
tahun 1865 yang berjudul “Een
avond aan het Hof (semalam di istana)
Ketika diketahui bahwa
Huet datang ke Betawi dengan memperoleh bantuan keuangan serta perintah rahasia
pemerintah konservatif Belanda, maka secara terang-terangan misi itu digagalkan
kelompok pemerintah liberal. Meski demikian Huet tetap manjadi redaktur kepala
koran Java
Bode sampai
mendirikan korannya sendiri pada tahun 1872.
Dalam tulisan-tulisannya
seperti Het
land van Rembrandt (negeri Rembrad) dan Het
land van Rubens (negeri Ruben) jelas sikap politik Huet yang mendukung penaklukan
Aceh.
Sementara Paul Van T Veer
menentang hal itu. Sikap yang sama juga disampaikan Multatuli. Pada Oktober
1872 ia menulis surat terbuka berjudul Brief
aan den Koning (surat
kepada raja).
Dalam suratnya Multatuli
menulis, “Tuanku, Gubernur jenderal taunku dengan dalih yang dicari-cari
sekurang-kurangnya dengan alasan-alasan provokasi yang dibuat-buat, kini sedang
memaklumkan perang kepada Sultan Aceh dengan maksud hendak merampas kedaulatan
tanah pusakanya. Tuanku, perbuatan ini bukan saja tidak tahu berterima kasih,
tidak satria ataupun tidak jujur, melainkan juga tidak bijaksana.”
Multatuli menyatakan
peran agen provokato yang ingin menaklukkan Aceh itu dimainkan oleh Sir Max
Haveelaar yang saat itu berkuasa di Bogor. Usaha lain juga dilakukan melalui
lobi politik. Pada akhir musim panas 1869, Menteri Jajahan Belanda, De Waal
berjalan di Haagsche Boch, sebuah taman di kota Den Haag. Di sana ia
bertemu Duta Besar Inggris, Harris. Lobi agar Ingris membatalkan perjanjian
dengan Aceh dilakukan.
Atas permintaan itu, pada 9 Desember 1869 Harris menjawab
penaklukan Aceh oleh Belanda akan disetujui bila mendatangkan keuntungan bagi
perniagaan Inggris di selat Malaka.
Keinginan Belanda
berkuasa di Aceh juga mendapat sorotan media di semenanjung melayu.Penang
Gazette pada 10
November 1871 menulis. “Semakin cepat suatu kekuasaan Eropa mengintervensi
Aceh, semakn cepat pula daerah-daerah yang terkenal subur untuk tanaman Timur
berkembang dan jaya lagi dari keruntuhannya.”
Belanda Mengultimatum Aceh
Setelah berhasil
meyakinan Inggris untuk membatalkan perjanjian dengan Kerajaan Aceh. Belanda
pun melancarkan ultimatum. Perang pun dimulai.
Maklumat perang itu
dinyatakan oleh Belanda pada Rabu 26 Maret 1873 bertepatan dengan 26 Muharam
1290 Hijriah dari geladak kapal perang Citadel
vab Antwerpen  yang
berlabuh diantara Pulau Sabang dan daratan Aceh.
Pernyataan itu diumumkan
oleh Komisaris Pemerintah merangkap Wakil Presiden Dewan Hindia Belanda, F.N
Nieuwenhuijzen. Sebulan kemudian Senin, 6 April 1973, Belanda mendaratkan
pasukannya di Pante Ceureumen, Ulee Lheue dibawah pimpinan Mayor Jenderal J H R Kohler.
Pada penyerangan pertama ke Aceh itu, Belanda mengerahkan enam
kapal perang, yakniDjambi, Citaden van Antwerpen, Marnix, Coehoorm,
Soerabaya, dan kapal perang Sumatera.Ditambah Siak dan Bronbeek, dua kapal angkatan laut Pemerintah Belanda.
Selain
itu ada lima barkas, delapan kapal ronda, satu kapal komando, enam kapal
pengangkut, serta lima kapal layar. Tiga diantaranya untuk mengangkut pasukan
alteleri, kavelari, dan para pekerja, satu untuk amunisi dan perlengkapan
perang, serta satu kapal lagi untuk mengangkut orang-orang sakit.
Dalam buku The Dutch Colonial War in Aceh disebutkan, armada
Belanda tersebut dipimpin oleh Kapten laut J.F Koopman dengan kekuatan 168
orang perwira yang terdiri dari 140 orang Eropa, serta 28 orang Bumiputera,
3.198 pasukan yang 1098 diantaranya orang-orang Eropa, sisanya 2.100 orang
tentara dari Bumi Putera, yakni tentara bayaran Belanda dari Jawa.
Pasukan
itu juga diperkuat dengan 31 ekor kuda perwira, 149 kuda pasukan, 1.000 orang
pekerja dengan 50 orang mandor, 220 wanita dari Jawa yang masing-masing
ditempatkandelapan orang untuk satu kompi tentara Belanda,
serta 300 pria dari Jawa untuk pelayan para perwira Belanda.
Pada penyerangan
perdana Belanda ke Aceh itu, Kohler dibantu oleh Kolonel E.C van Daalen, Wakil
Panglima merangkap Komandan Infantri. Begitu mendarat, pasukan Belanda langsung digempur oleh
pasukan Aceh, terjadilah perang sengit. Setelah bertempur dengan susah payah,
pada 10 April 1873, Belanda dapat merebut Mesjid Raya. Akan tetapi karena
tekanan-tekanan dari pejuang Aceh yang dipimpin Tgk Imuem Lueng Bata, Belanda
pun harus meninggalkan Mesjid Raya.
Empat
hari kemudian, 14 April 1873, Belanda kembali mencoba untuk menyerang Mesjid
Raya. Dalam pertempuran tersebut Panglima Perang Belanda, Mayor Jenderal J.H.R
Kohler tewas ditangan pejuang Aceh. Tujuan Belanda untuk menguasai Dalam (Kraton-red)
gagal total.
Tiga
hari setelah Kohler tewas, Belanda mengundurkan diri ke pantai, setelah
mendapat izin dari Pemerintah Hindia Belanda di Batavia (Jakarta-red)
pada 23 April 1873. Kapal-kapal angkatan perang Belanda itu pun meninggalkan
Aceh pada 29 April 1873, kembali ke Batavia.
Dikecam dari Dalam
Karena
Belanda mengalami kegagalan dalam penyerbuannya ke Aceh, Jenderal G.P Booms,
sebagaimana ditulis dalam bukunya “De
Erste Atjeh Expediti en Hare Enguete”  mengecam Pemerintah Kolonial Belanda di Batavia
atas kegagalan tersebut, karena dinilai terlalu menganggap remeh kekuatan Aceh.
Dalam
buku itu ia menulis, “Blijkbaar rekende men dus op een
gemakkelijke overwinning. De feiten, een jarenlange ervaring, hebben echtar
getoond, dat men te maken had men telrijken, energieken vijand,...met een volk
van een ongekende doodsveracting,dat zich onverwinbaar achtte...die ervaring
leert in een woord, dat wij niet gestaan hebben tegenover een machteloozen
sultan wiens rijk met den valvan zijn kraton zou ineenstorten maar tegenover
een volksoorlong,die behalve over al de materieele middelen vaqn het land, over
geweldige moreele krachten van fanatisme of patriotisme beschikte..”
Artinya:
telah diperkirakan suatu kemenangan yang akan diperoleh dengan mudah. Akan
tetapi, pengalaman bertahun-tahun lamanya memberikan petunjuk, bahwa yang
dihadapi itu adalah musuh dalam jumlah besar yang sangat gesit ..... suatu
bangsa yang tidak gentar menghadapi maut, yang menganggap ia tidak dapat
dikalahkan.... Pengalaman itu memberi pelajaran, bahwa kita tidak dapat
mengahadapi seorang Sultan, yang kesultanannya akan berubah dengan jatuhnya
kraton, akan tetapi kita menghadapi rakyat yang menentukan harta benda negara,
memilki tenaga-tenaga moril, seperti cinta tanah air.”
Dalam
sidang Palemen Belanda pada 15 Mei 1877, Menteri Urusan Koloni, Belanda 
memberikan jawaban atas interpelasi yang menyoalkan kegagalan Belanda itu, “Wij
hebben te trotseeren gehad een ongekande doodsveracthing, een volk dat zich
onverwinbaar achtte.” Artinya
“Kita telah menghadapai maut, bangsa yang menganggap ia tidak sedikit pun
gentar menghadapi maut, bangsa yang menganggap ia tidak mugkin dapat
dikalahkan.”
Kegagalan
Belanda itu terus saja dibicarakan, sampai Belanda pun menaruh hormat atas
keberanian pejuang Aceh baik pria maupun wanita. Rasa hormat itu sebagaimana
diungkapkan H C Zentgraaff dalam bukunya “Atjeh”  ia
menulis.  “De atjehschevrouw, fier en depper, was de verpersoonlijking
van den bittersten haat jegens ons, en van de uiterste onverzoenlijkheid an als
zij medestreed, dan deed zij dit met een energie en doodsverachting welke
veelal die der mennen overtroffen. Zij was de draagster van een haat die
brandde tot den rand van het graf en nog in het aangezicht van den dood spuwde
zij hem, den kaphe in het geizcht”.
Artinya
“Wanita Aceh  gagah dan berani mereka pendukung yang tidak mungkin
didamaikan, terhadap kita dan bila ia turut serta bertempur, dilakukannya
dengan gigih dan mengagumkan, bersikap tidak takut mati yang melebihi kaum
pria. Ia mempunyai rasa benci yang menyala-nyala sampai liang kubur dan sampai
saat menghadapi maut, ia masih mampu meludahi muka
si kaphe.”[Iskandar Norman]
Sumber: acehsky.blogspot.com
 
 
 
