Pelestarian
pusaka (warisan budaya), baik alam maupun budaya hingga saat ini belum dianggap
sebagai hal penting. Ada berbagai alasan yang dikemukakan, mulai dari
anggapan bahwa pelestarian adalah antikemajuan hingga pada anggapan bahwa
pelestarian tidak menguntungkan secara ekonomis. Dengan demikian, dianggap
kecil kontribusinya bagi kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi, di
beberapa negara maju, pelestarian warisan alam dan budaya, baik yang tangible
(bendawi) maupun intangible (non-bendawi) justru memberikan kontribusi yang
besar dalam pembangunan ekonomi masyarakatnya, seperti negara Perancis.
Aceh sebagai daerah yang memegang peranan
penting dalam perjalanan sejarah di Nusantara, juga memiliki banyak aspek
peninggalan sejarah dan kebudayaan, baik sebelum, selama, maupun sesudah
kesultanan Aceh. Satu di antara warisan sejarah Aceh adalah bekas kerajaan Lamuri,
yang sekarang nasibnya terancam dipunahkan oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab.
Menurut R.A. Hoesein Djajadiningrat, pendiri
Kesultanan Aceh Darussalam ialah Sultan Ali Mughayat Syah pada sekitar tahun
1514M. Dengan dikuasainya Malaka oleh Portugis pada tahun 1511M, menyebabkan
saudagar Muslim datang ke Aceh. Kerajaan Aceh pun berkembang menjadi
tempat perdagangan yang ramai. Saudagar-saudagar muslim, baik dari Barat maupun
Timur menggunakan Aceh sebagai pengganti Malaka untuk tempat
berdagang dan tempat secara intensif menyebarkan agama Islam. Keadaan seperti
itu tidak disia-siakan oleh Sultan Ali Mughayat Syah. Dia memanfaatkannya untuk
membina kesultanan agar benar-benar kuat.
Aceh sudah dikenal sejak permulaan terbentuknya
jaringan-jaringan lalu lintas internasional (+ abad I Masehi). Berita tertua
dari Dinasti Han (abad I-VI Masehi) menyebutkan negeri yang bernama
Huang-Tsche. Menurut catatan Cina tersebut, penduduk negeri itu sama dengan
penduduk Hainan. Mereka hidup dari berdagang dan perampokan. Kaisar Wang Mang
dari Dinasti Han meminta kepada penguasa negeri ini untuk mengirimkan seekor
badak. Tempat itu identik dengan Aceh berdasarkan letaknya.
Sementara berita tentang Poli dijumpai dalam
catatan Cina. Berita pertama terdapat dalamcatatan Dinasti Leang (502-556 M),
Dinasti Sui (581-617 M), dan berita terakhir dari catatan Dinasti Tang (618-908
M). Mengenai letak tersebut memang belum ada kata sepakat para ahli. De
Casparis mengatakan bahwa Poli tidak kurang pentingnya dan menggemparkan. Poli
dapat disamakan dengan Puri, lengkapnya Dalam-Puri yang disebut Lamuri oleh
orang-orang Arab dan Lambiri oleh Marco Polo.
Sejauh mana Poli itu identik dengan Lamuri,
seperti yang dikemukakan oleh De Casparis, masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Dalam naskah-naskah Aceh disebutkan bahwa Kerajaan Lamuri yang dieja
dengan l.m.r.i. antara m dan r tidak terdapat tanda vokal, sehingga jika
dituruti cara mengeja dalam naskah, tidak mungkin bahwa nama itu akan dibaca
Lamuri atau Lamiri. Sementara dalam buku Sejarah Melayu, Lamuri disebut dengan
Lamiri (L.m.y.r.y).
Berita tertua mengenai Lamiri berasal dari Ibnu
Khordadhbeh (844-848), Sulaiman (955), Mas’udi (943), dan Buzurg bin Shahriar
(955). Semuanya penulis Arab. Mereka menyebutkan Lamuri dengan nama Ramni dan
Lamuri, sebuah daerah yang menghasilkan kapur barus dan hasil bumi penting
lainnya. Mas’udi menambahkan pula bahwa Ramni pada waktu itu takluk di bawah
Mahara Sriwijaya.
Sementara itu, sumber dari Cina tentang Lamuri
yang paling tua berasal dari tahun 960M. Dalam catatan Cina sudah disebutkan
dengan nama Lanli, sebuah tempat yang dapat disinggahi oleh utusan-utusan Parsi
yang kembali dari Cina sesudah berlayar 40 hari lamanya. Di sana mereka
menunggu musim teduh untuk seterusnya berlayar lagi ke negeri asal
mereka.
Seterusnya Chau-Yu-Kwa dalam bukunya Chu Fan-Shi
yang terbit pada tahun 1225 M, menyebutkan bahwa di antara jajahan-jajahan
San-fo-ts’i (Sriwijaya) termasuk juga Lan-wu-li, yang diperkirakan adalah
Lamri. Raja Lan-wu-li disebutkan belum beragama Islam, memiliki dua buah ruang
penerimaan tamu di istananya. Apabila bepergian diusung atau mengendarai seekor
gajah. Selanjutnya, apabila dari negeri ini seorang bertolak di musim
timur laut maka ia akan tiba di Ceylon dalam waktu 20 hari. Pada tahun 1286,
Lan-wu-li bersama-sama Su-wen-ta-la mengirim utusan ke negeri Cina dan berdiam
di sana sambil menunggu kembalinya ekspedisi Kublai Khan dari Jawa.
Ketika Marco Polo pada tahun 1292 M tiba di Jawa
Minor (Sumatera), ia mendapatkan delapan buah kerajaan, di antaranya Lamri.
Kerajaan ini katanya tunduk kepada Kaisar Cina dan mereka diwajibkan membayar
upeti. Pada tahun 1310 M, seorang penulis Parsi bernama Rashiduddin,
menyebutkan untuk pertama kalinya bahwa tempat-tempat penting “di pulau Lumari
yang besar itu” selain Peureulak dan Jawa adalah Aru dan Tamiang.
Sejak tahun 1286, Lamri telah mengirim
utusan-utusannya ke Cina. Dalam buku Dinasti Ming disebutkan bahwa pada
tahun 1405 M telah dikirim ke Lam-bu-li sebuah cap dan surat, sementara pada
tahun 1411M negeri ini mengirimkan utusan ke Cina untuk membawa upeti.
Perutusan itu tiba bersamaan dengan kunjungan perutusan Klantan dan Cail,
kemudian kembali bersama-sama ekspedisi Cheng Ho. Pada tahun 1412M, raja
Maha-Ma-Shah (Muhammad Syah) dari Lam-bu-li bersama-sama Samudera mengutus
sebuah delegasi ke Cina untuk membawa upeti. Di antara utusan-utusan Lam-bu-li
ke Cina yang secara teratur dikirim setiaptahun terdapat nama Sha-che-han
putera Mu-ha-ma-sha. Ketika Cheng Ho pada tahun 1430 membawa hadiah-hadiah ke
seluruh negeri, Lamri pun memperoleh bagian pula. Ada kemungkinan bahwa
pengiriman hadiah-hadiah itu bukan untuk pertama kalinya, karena lonceng Cakra
Donya yang dahulunya tergantung di istana sultan Aceh dan sekarang disimpan di
Museum Aceh dengan tulisan Cina dan Arab padanya dibubuhi angka tahun
1409M.
Catatan yang tercantum dalam buku
Ying-Yai-Sheng-lan oleh Ma-Huan, disebutkan bahwa Lamri terletak “Tiga hari
berlayar dari Samudera pada waktu angin baik.” Negeri itu bersebelahan
pada sisi timur Litai, bagian utara dan barat berbatas dengan laut Lamri
(laut Hindia), dan ke selatan berbatas dengan pegunungan. Berdasarkan berita
Cina itu, Groenevelt mengambil kesimpulan bahwa letak Lamri di Sumatera
bahagian utara, tepatnya di Aceh Besar. Berita dari Cina itu juga mengatakan
bahwa Lamri terletak di tepi laut.
Di antara penelitian yang menyebutkan bahwa
Lamri sebuah kerajaan yang terletak di Aceh Besar adalah M. J. C. Lucardie
dalam karangannya “Mevelies de Lindie”, penerbitan van der Lith 1836M. Dia
menyebutkan bahwa Lamreh yang terletak dekat Tungkop, besar kemungkinan adalah
peninggalan dari kerajaan Lamri. Tome Pires dalam karangannya mengenai pulau
Sumatera menyebutkan bahwa di pantai utara daerah Aceh terdapat 6 reinos dan 2
terras, yaitu reino de Achey e Lambry, terra de Biar, reinos de Pedir, terra de
Aeilabu, reino de Lide, reino de Pirada, reino de Pasee. Nama-nama tersebut
dengan mudah dapat dikenal karena masih dipakai sampai sekarang, yaitu Aceh,
Lamri, Biheue, Pidie, Ie Leubeue, Peudada, dan Pasee.
Dalam naskah Hikayat Aceh juga disebutkan
tentang nama teluk Lamri dan dalam buku Ying-Yai-Sheng-Lan 1416M disebut pula
laut Lamri yang terletak di tepi pantai atau teluk. T. Iskandar mengatakan
bahwa Lamri terletak dekat Krueng Raya sekarang, yang teluknya dinamakan
dengan nama yang sama. Desa Lamreh pun terletak tidak begitu jauh dari Krueng
Raya. Sekitar 500 meter dari Krueng Raya terdapat sebuah reruntuhan bangunan
dan sekitar 6 km dari tempat tersebut terdapat pula bangunan yang sampai
sekarang dikenal dengan nama Benteng Indrapatra.
Pada akhir abad XV pusat kerajaan Lamri
dipindahkan ke Makota Alam (Kuta Alam) yang terletak pada sisi utara Krueng
Aceh di lembah Aceh. Pemindahan itu disebabkan karena adanya serangan dari
Pidie dan pendangkalan muara sungai yang mengalir melalui pusat kerajaan Lamri,
sehingga tidak begitu baik lagi untuk kepentingan pelayaran. Sejak itu, Lamri
lebih dikenal dengan nama kerajaan Makota Alam.[Oleh Sudirman]
Sumber: acehsky.blogspot.com